Sopaka adalah anak yang lahir di kota
Sravasti, dari seorang ibu yang amat miskin, memiliki sejarah hidup yang tragis
meski kemudian akhirnya mencapai Arahat. Ketika masih berada dalam kandungan
ibunya, dan ketika saat kelahirannya akan tiba ibunya mengalami koma. Dalam
keadaan demikian, ibunya dikira oleh saudara-saudaranya telah mati, dan segera
ibunya itu dibawa ke pemakaman untuk dikremasikan, termasuk janin Sopaka di
dalam rahim ibunya.
Namun, bila memang nasib belum ditakdirkan demikian, kematian yang telah divonis oleh manusia itu tentu saja tidak berlaku. Menjelang ibunya dikremasi, justru bayi dalam kandangannya itu dapat diselamatkan oleh seorang makhluk halus yang memberikan halangan bagi nyalanya api kremasi dengan cara menurunkan hujan.
Maka, mereka yang hendak mengkremasi ibunya itu pun jadi melarikan diri. Akhirnya bayi dalam kandangan ibu yang koma itu dapat lahir dengan selamat, berkat bantuan makhluk halus yang penolong, meski ibunya sendiri tak tertolong.
Makhluk halus penolong itu pun segera menggendong si bayi beruntung itu, dan membawanya kepada seorang penjaga. Bayi itu berada dalam asuhan sang penjaga dan penjagaan makhluk halus, memperoleh makanan yang sesuai sehingga dapat tumbuh dengan sehatnya. Si penjaga itu pun akhirnya mengangkat bayi itu menjadi anaknya, dibesarkannya bersama dengan anak laki-lakinya yang bernama Suppiya.
Karena bayi itu lahir dipemakaman, maka bayi itu pun diberi nama Sopa, yang artinya, "Si Anak Buangan? Sopaka tumbuh sehat bersama dengan Suppiya, Di suatu pagi ketika Hyang Guru Agung, Buddha Sakyamuni sedang menjalangkan kebiasaannya mencari-cari dengan mata kebijaksanaanNya siapa yang dapat menerima ajaranNya, Beliau melihat seorang anak sedang berjalan menuju ke kuburan. Anak itu adalah Sopaka yang waktu itu berusia tujuh tahun.
Didorong oleh kekuatan karma lampaunya, Sopaka kemudian mendekati Guru Sakyamuni Buddha dengan pikiran yang bahagia dan menghormatiNya. Hyang Buddha pun kemudian mengajari Sopaka Dharma. Begitu cerdasnya anak ini sehingga cepat tahu akan makna hidup sesungguhnya yan sesuai Buddhadharma, Sopaka pun akhirnya memutuskan diri untuk hidup meninggalkan keduniawian.
Meski sebagai anak yang dipungut, Sopak sangat berbakti kepada orang tua angkatnya. Untuk menjalani hidup kesucian dan menjadi siswa Hyang Buddha, ia meminta izin terlebih dahulu kepada ayahnya . Lebih dari itu, Sopaka juga membawa ayahnya memberi hormat kepada Hyang Buddha, dan kemudia memohon agar menerima anaknya.
Hyang Buddha menerima Sopaka menjadi siswanya. Berbagai ajaran Dharma diperoleh Sopaka dari Hyang Buddha, dan semua itu dicerapkan dengan kecerdasannya yang mengagumkan. Terdapat ajaran Buddha yang sangat meresap ke dalam diri Sopaka yakni ajaran tentang cinta kasih persaudaraan. Sopaka meresapi ajaran tersebut dan melatih serta mempratekkannya.
Sebagai seorang anak buangan, siswa Hyang Buddha ini kerap menjalani pelatihan dirinya dipekuburan. Dari kuburan kembali ke kuburan, dan karenanya aku tak mungkin lepas dari kuburan, begitu mungkin pikir Sopaka yang melatih dirinya dengan menetap di pekuburan. Justru dengan cara seperti itulah Sopaka akhirnya lebih cepat mencapai keberhasilan di dalam meditasi.
Kuburan adalah suatu simbol mengenai ketidakkekalan atau ketiadaan. Orang yang telah mati anitya akan dibawa ke kuburan untuk dimakamkan atau dikremasikan, orang itu kemudian dianggap telah tiada. Dengan dasar sejarah hidupnya yang telah dianggap tiada, Sopaka meyakini justru itulah modal terbesarnya untuk cepat meraih keberhasilan dalam mencapai tingkat kesucian.
Satu hal penting yang patut mendapatkan catatan dan diingat dari apa yang selalu Buddha ajarkan, adalah Hyang Buddha selalu mengajarkan sesuai dengan latar belakang orang yang diajarkan. Latar belakang dan sejarah kehidupan orang yang bersangkutan adalah modal besar bagi orang itu sendiri dalam meraih keberhasilan pelatihan diri. Sopaka yang lahir di pekuburan menjalani pelatihannya di pekuburan. Sopaka yang telah dianggap tiada sejak semula, justri menjalani hidup pelatihannya di tengah-tengah orang yang tiada. Dari tiada kembali kepada ketiadaan.
Melatih diri di pekuburan memungkinkan Sopaka cepat merealisasi makna kekosongan dan ketiadaan. Keterikatan terhadap keakuan sama sekali mudah dilenyapkan, sehingga dalam meditasi, Sopaka cepat meraih tingkatan jhana. Kemudian ketika tingkat jhana-jhana telah diperoleh, Sopaka mengembangkan pandangan terang dan akhirnya mencapai tingkat Arahat.
Kehadirannya yang secara dramatis dan tragis dengan lahir di kuburan dan dianggap tidak ada ternyata membawa dirinya berujung kepada keberhasilan dalam jalan kesucian. Tak seberkas pun ada rasa benci terhadap peristiwa kelahirannya itu, kepada masyarakat yang menilai telah tiada, kepada orang-orang yang menganggap dirinya tidak ada. Ajaran Buddha mengenai cinta kasih persaudaraan yang diperkenalkan pertama kali kepadanya, sungguh membuat dirinya sama sekali tidak mendendam dan membenci akan masa lalunya.
Sopaka pun akhirnya dapat mengembangkan cinta kasih persaudaraan. Setelah berhasil mencapai tingkat Arahat, ia pun kembali mengajarkan kepada para bhiksu lainnya tentang makna ajaran cinta kasih persaudaraan. Cinta kasih persaudaraan yan tidak pernah membeda-bedakan siapa saja orang yang ada. Cinta kasih persaudaraan yang tidak diskriminatif diantara orang-orang yang bersahabat.
Untuk semua makhluk dengan tanpa membedakan dan tanpa batas cinta kasih itu harus ditujukan. Cinta kasih persaudaraan yang universal, mencakup seluruh dunia, seluruh alam semesta, semua makhluk, semua manusia dalam segala usia. Sopaka, si Anak Buangan itu menyadari dirinya, melatih dirinya, bahwa ia memang bukan apa-apa melainkan bagian dari kekosongan cinta kasih alam semesta, dan justru dengan meniadakan dirinya ia akhirnya berada dalam kemuliaan kesempurnaan Arahat.
Suatu ketika
Buddha sedang berdiam diPurvarama, Samanera Sopaka sedang melakukan suatu
perjalanan panjang menuju tempat Buddha berada. Buddha telah mengetahuinya
bahwa samanera Sopaka segera akan merealisasi Nibbana atau menjadi seorang
Arahat. Lalu Buddha memanggilnya dan mengajukan beberapa pertanyaan, seperti
syair dibawah ini; “Uddu mataka sannati, va Sopaka! Rupa sannati vaime
dhamma nantthe nana byanjana, udahu ekattha Vyanjana meva nanam (Samyutta
Nikaya)”. Lalu Samanera Sopaka menjawabnya dengan sangat pintar dan
berani. Buddha lalu memujinya dan bertanya tentang umurnya. Sopaka menjawabnya
bahwa ia baru berumur Tujuh tahun. Diumur yang ketujuh tahun ini, Buddha
memberitahunya bahwa dengan wawancara itu dia telah menerima suatu
pentahbisan
dan menjadi seorang bhikkhu, lalu Buddha menginformasikan secara langsung
kepada Sangha. Demikian juga Samanera Sumana juga telah menerima pentahbisan
dengan cara yang sama yang mana Buddha menjelaskan bahwa sikap dan tingkah laku
seorang Sumana telah pantas. Pertanyaan-pertanyaan itu dimuat didalam Kitab
Samanera Banadaham Potha, sebuah buku yang memuat khusus untuk Samanera, dan
ada didalam Kitab Suci Piruvana Pothavahanse. Pertanyaan-pertanyaannya seperti
syair berikut ini;
1.
Eka Nama Kim?
Apa yang
dimaksud Satu?
Yaitu Sabbe
Satta Aharatthitika
Yaitu semua
makluk tergantung pada makanan.
2.
Dve Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Dua?
Yaitu
Namam ca Rupam ca
Yaitu batin
dan jasmani/mental dan fisik
3.
Tayo Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Tiga?
Yaitu Tisso
Vedana
Yaitu Tiga
aspek sensasi atau Tilakkhana
4.
Catari Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Empat?
Yaitu
Cattari Ariyasaccani
Yaitu Empat
Kesunyataan Mulia
5.
Panca Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Lima?
Yaitu Panca Upadana
Khandha
Yaitu Lima
Kelompok kemelekatan Batin dan Jasmani
6.
Ca Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Enam?
Yaitu Ca
Ajjattikani Ayatanani
Yaitu Enam
Landasan Indriya bagian dalam (6 Ayatana).
7.
Satta Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Tujuh?
Yaitu Satta
Bhojjangani
Yaitu Tujuh
Faktor yang menuntun kearah Pembebasan
8.
Attha Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Delapan?
Yaitu Ariyo
Atthangiko Maggo
Yaitu
Delapan Jalan Pembebasan
9.
Nava Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Sembilan?
Yaitu Nava
Sata Vassa
Yaitu
Sembilan Alam dimana semua makluk tinggal
10. Dasa
Nama Kim?
Apa yang
dimaksud dengan Sepuluh?
Yaitu Dasa
Hangehi samannagato Arahati Vuccati ti
Yaitu Orang
yang telah mencapai Arahat
Dengan menjawab semua pertanyaan itu Samanera Sumana secara otomatis telah
menerima pentahbisan sebagai seorang bhikkhu. Pentahbisan ini
dianugerahkan oleh Buddha sendiri dan dikenal dengan sebutan PanhaVyakarana
Upasampada.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar