Wednesday, 7 May 2014

SUKU POLAHI



2.1.       Sejarah Suku Polahi Di Gorontalo
Di hutan di Desa Bina Jaya Kecamatan Tolangohula Kabupaten Gorontalo hidup beberapa kolompok manusia yang di sebut oleh masyarakat gorontalo sebagai polahi. Jumlah suku Polahi yang terdata di Desa Bina Jaya berjumlah 11 KK, Suku polahi adalah warga masyarakat gorontalo yang terisolir di kawasan pedalaman provinsi  gorontalo, untuk mencapai ke lokasi perkampungan polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam, menurut cerita yang berkembang di masyarakat gorontalo bahwa suku Polahi adalah mereka yang tidak mau di tindas dan dijajah oleh Belanda,  sehingga dari beberapa kolompok masyarakat banyak yang mengamankan diri mereka dengan cara berpindah tempat masuk kedalam hutan. Jumlah mereka seluruhnya sekitar 500 orang, kira-kira 200 orang di Kecamatan Paguyaman dan 300 orang di Kecamatan Suwawa. Mereka tinggal di hutan dalam  bentuk kelompok-kelompok kecil. Suku terasing polahi  umumnya mereka hidup berpencar dalam kelompok-kelompok kecil.  Departemen Sosial Kabupaten Gorontalo telah meng-identifikasi masyarakat polahi dengan kelompok 9, kelompok 18, kelompok 21 atau kelompok 70 berdasarkan jumlah anggota kelompok dalam satu kampung.  Cara mengenal suku Polahi yaitu berbadan tegap dan kekar, berjalan sangat cepat, bahasa gorontalo asli, jari kaki mereka terbuka, tangan mereka sangat kekar.

Jika menelusuri sejarah perjuangan rakyat Gorontalo dalam mengusir penjajah, ternyata terdapat benang merah yang dapat ditarik untuk mengetahui bagaimana suku polahi pertama kali muncul. Masyarakat Gorontalo adalah masyarakat yang memiliki jiwa patriotisme yang sangat tinggi sehingga mereka rela mengasingkan diri  dihutan dengan alasan menolak kerja paksa dan tuntutan membayar pajak kepada kompeni. Secara terperinci bahwa perlawanan rakyat Gorontalo terhadap kaum penjajah sudah dimulai sejak Raja Eyato menjadi raja di Gorontalo pada tahun 1673 sampai 1679 Masehi.  Terlepas dari itu semua yang pasti suku polahi ini ada karena mereka tidak meng-inginkan hidup dalam kungkungan dari para penjajahan. 
2.2.        SUKU POLAHI PRIMITIF
Suku Polahi yang masih primitif ini dulunya sangat ditakuti oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hutan,  jika kita bertemu dengan mereka berada dalam hutan kita akan di usir bahkan dibunuh jika melawan, ini mereka lakukan karena mereka tidak menginginkan kehadiran orang lain, mereka masih mengangap bahwa orang yang datang itu adalah penjajah. Dalam kesehariannya mereka menghabiskan seluruh waktu mereka di dalam hutan dengan hanya mengandalkan gubuk kecil beratapkan dedaunan tanpa dinding sebagai tempat peristirahatan sementara mereka. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka biasanya berburu babi hutan. Rusa dan ular. Selain itu mereka juga mengkonsumsi dedaunan, umbi umbian dan akar rotan sebagai makanan sehari hari. Untuk memasak mereka menggunakan batang bamboo sebagai wadah. Cara memasaknya juga amat sangat sederhana yaitu dengan memasukkan semua bahan makanan kedalam lubang bambu lalu membakarnya diatas perapian hingga batang bamboo tadi retak atau pecah sebagai tanda bahwa makanan telah selesai di masak. Makanan tersebut 100% asli tanpa bumbu apapun karena mereka juga belum mengenal bumbu bumbuan.
Hal unik lainnya dari suku polahi adalah cara berpakaian. Kalau kita mengenal beberapa suku di papua menggunakan Koteka sebagai penutup aurat, maka Suku Polahi lebih memilih menggunakan cawat yang mereka buat dari daun yang diikat menggunaan tali dari kuit kayu. Cawat ini juga digunakan oleh kaum perempuan. Mereka belum mengenal penutup dada alias Bra. Jadi kaum perempuan Suku Polahi dalam kesehariannya adalah Toples alias setengah bugil.
Yang paling unik dari suku ini adalah system perkawinan. Mereka mungkin satu satunya Suku di Indonesia yang menganut perkawinan sedarah, dimana jika satu keluarga memiliki anak laki laki dan perempuan maka mereka otomatis akan di nikahkan dengan saudaranya tersebut. Jadi anak anak mereka sekaligus menjadi menantu mereka. Bahkan sang ibu bisa menikahi anak lelakinya dan sang ayah bisa menikahi anak perempuannya. Jelas bahwa budaya ini sangat bertentangan  dengan ajaran agama bahkan sangat dilarang karena dalam Islam dikenal konsep muhrim yang mengatur hubungan sosial antara individu yang masih terhitung dalam kekerabatan.  
2.3.       Masyarakat Polahi tidak mau turun gunung
Sampai hari ini, masih ada masyarakat adat Polahi yang hidup di lereng Gunung Boliyohuto, meskipun Dinas Sosial setempat telah menyediakan permukiman untuk mereka yang terletak di luar kawasan hutan konservasi.  Menurut Kepala Seksi Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (PKAT) Dinas Sosial Provinsi Gorontalo, Supardi Walango, terdapat sejumlah alasan sebagian masyarakat Polahi tidak bersedia turun gunung. Salah satunya adalah karena masyarakat Polahi sulit berbaur dengan warga Gorontalo kebanyakan akibat perbedaan cara hidup. “Dari cara berpakaian saja masyarakat ini sudah berbeda. Mereka masih menggunakan pakaian dari kulit binatang, sementara kaum perempuannya tidak mengenakan penutup tubuh bagian atas,” ujar Supardi kepada Kompas.com, Selasa (3/9/2013). Masyarakat polahi juga tak mengenal sistem penanggalan seperti yang biasa digunakan masyarakat Gorontalo umumnya. Polahi mengukur pergantian waktu berdasarkan masa panen. “Kalau kita bertanya umur seorang polahi, dia akan menjawab dengan ukuran masa panen. Misalnya umur saya 20 kali panen, atau 25 kali panen,” terang Supardi. Polahi juga menganut kepercayaan berbeda dengan kebanyakan orang Gorontalo yang mayoritas menganut agama Islam. “Kuburan mereka saja tidak ditandai dengan nisan, tapi pohon pinang,” kata Supardi.  Selain karena perbedaan cara hidup, masyarakat Polahi juga menolak turun gunung karena tidak ingin hidup di bawah aturan pemerintah. “Mereka ingin hidup bebas. Tidak mau diatur pemerintah, tidak mau ditekan-ditekan, tidak mau bayar pajak dan melakukan kewajiban seperti umumnya seorang warga negara Indonesia,” kata Supardi. Supardi menuturkan, menurut sejarah, awalnya Polahi adalah sekumpulan orang Gorontalo yang melakukan eksodus ke wilayah hutan karena menghindari penjajahan Belanda. Kejamnya penjajahan masih lekat dalam ingatan orang Polahi hingga menurun kepada anak cucu mereka. Sebagian orang Polahi masih menganggap, pemerintah sekarang tak jauh berbeda kejamnya dengan penjajah Belanda dahulu. Supardi menjelaskan, faktor geografis juga menjadi alasan sebagian masyarakat Polahi menolak turun gunung. Mereka menolak menempati 16 rumah layak huni yang disediakan Dinsos Gorontalo di desa Tamaila, Kecamatan Tolangohula, Kabupaten Gorontalo karena permukiman tersebut terletak di lokasi yang jauh dari aliran sungai. Dinsos sebenarnya telah berencana membangun pemukiman di dekat aliran sungai, namun rencana ini tidak mendapatkan rekomendasi dari Dinas Kehutanan setempat. “Kawasan di dekat sungai tersebut menurut Dinas Kehutanan sudah masuk dalam kawasan hutan konservasi. Sehingga kita tidak bisa membangun pemukiman di sana,” kata Supardi. Supardi melanjutkan, seluruh lahan yang diberikan untuk suku Polahi harus memiliki sertifikat tanah. “Kita tidak mungkin membuatkan sertifikat untuk tanah yang masuk kawasan hutan,”imbuhnya. Otomatis, kata Supardi, berbagai fasilitas seperti penyuluhan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan hanya dirasakan masyarakat Polahi yang berada di Desa Tamaila, sementara Polahi yang masih berada di kawasan hutan tidak bisa menikmati hal tersebut.
2.4.       Cerita Mistik Di dalam Suku Polahi
Beberapa puluh tahun lalu, keberadaan Polahi masih merupakan cerita mistis yang penuh misteri. Paling banyak cerita mengenai suku ini datang dari para pencari rotan yang mengambil rotan di Pengunungan Boliyohuto. Satu keluarga dari Suku Polahi yang ada di pedalaman Hutan Humohulo, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo, Gorontalo. Banyak cerita mistis dan misteri mengenai kehidupan primitif mereka."Para pencari rotan sebelum saya, bercerita bahwa Polahi yang bertemu dengan mereka, selalu merampas barang-barang mereka. Mereka terpaksa menyerahkan makanan dan parang yang dibawa, karena kalau tidak Polahi bisa membunuh mereka," ujar Jaka Regani (48) salah satu pencari rotan yang ditemui di Hutan Humohulo, Panguyaman, Kecamatan Boalemo, Gorontalo, pekan lalu. Dulu, Polahi tidak mengenal pakaian. Mereka hanya mengenakan semacam cawat yang terbuat dari kulit kayu atau daun woka untuk menutupi kemaluan mereka. Sementara itu, bagian dada dibiarkan telanjang, termasuk para wanitanya. "Tapi sekarang Polahi yang berada di Paguyaman dan sekitarnya sudah tahu berpakaian. Mereka sudah berpakaian layaknya warga lokal lainnya," ujar Rosyid Asyar, seorang juru foto yang meminati kehidupan Polahi. Suku Polahi dianggap mempunyai ilmu kesaktian bisa menghilang dari pandangan orang. Mereka dipercaya punya kemampuan berjalan dengan sangat cepat, dan mampu hidup di tengah hutan belantara. "Dua puluh tahun lalu ada teman saya yang meneliti mengenai Polahi primitif sempat hidup bersama mereka selama seminggu. Menurut pengakuannya, ketika bertemu dengan Polahi primitif tersebut, matanya harus diusap dengan sejenis daun dulu baru bisa melihat Polahi," jelas Rosyid. Kehidupan Polahi yang bertahan di hutan pedalaman Boliyohuto dan tidak mau turun hidup bersama dengan warga kampung, membuat cerita mistis mengenai mereka terus bertahan. Menurut sejarah yang bisa ditelusuri, sejatinya suku Polahi merupakan warga Gorontalo yang pada waktu penjajahan Belanda dulu melarikan diri ke dalam hutan. Pemimpin mereka waktu itu tidak mau ditindas oleh penjajah. Oleh karena itu, orang Gorontalo menyebut mereka Polahi, yang artinya "pelarian." Jadilah Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba. Setelah Indonesia merdeka, turunan Polahi masih bertahan tinggal di hutan. Sikap antipenjajah tersebut terbawa terus secara turun temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah. Keterasingan mereka di hutan membuat Polahi tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama. Turunan Polahi lalu menjadi warga yang sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata sosial pada umumnya. Mereka juga tidak mengenal baca tulis serta menjadikan mereka suku yang tidak menganut agama. Keterasingan itu semakin melengkapi misteri dan cerita mistis suku Polahi. "Awalnya kami takut bertemu dengan Polahi jika sedang berada di hutan mencari rotan, tetapi kini kami malah sering menumpang istirahat di rumah mereka ketika berada dalam hutan," kata Jaka. Suku Polahi yang ditemui Kompas.com di Hutan Homohulo, Paguyaman, Kabupaten Boalemo, memang menepis sedikit cerita mistis dan misteri yang melingkupi mereka selama ini. "Kami sudah berpakaian sejak lama sekali, tidak lagi telanjang, sudah malu dilihat orang kalau turun ke kampung untuk ke pasar," ujar Mama Tanio, salah satu perempuan Polahi yang ditemui dalam bahasa Gorontalo dengan dialek khas Polahi. Bahkan menurut Mama Tanio, tayangan sebuah TV swasta nasional beberapa waktu lalu yang memperlihatkan mereka dalam keadaan telanjang, tidak lagi murni seperti itu. "Baba Manio dibayar untuk telanjang waktu itu," aku Mama Tanio yang merupakan istri Baba Manio, Kepala Suku mereka. Kini, walau belum menghafal sistem penanggalan modern dengan benar, Polahi di Hutan Humohulo setiap pekan turun ke pasar desa untuk menjual hasil kebun mereka dan berbelanja kebutuhan hidup mereka. Bahkan, para Polahi kini menawarkan jasa sebagai buruh angkut barang para penambang yang melewati permukiman mereka. Setidaknya, Polahi kini sudah mengenal nilai tukar uang. Bahkan. anak-anak Polahi yang sudah dewasa kini sudah mahir menggunakan telepon seluler untuk komunikasi dengan warga lainnya. Kondisi ini mengindikasikan sebenarnya Polahi bisa membuka diri dari sentuhan peradaban sosial. Pendekatan dari pemerintah untuk membuat mereka mengenal agama dan pendidikan memerlukan kajian yang tepat agar penanganan kehidupan sosial mereka tepat sasaran. Pemerintah pernah menyediakan mereka lokasi Rumah Layak Huni (Mahayani) di Desa Bina Jaya dengan membangun sembilan rumah untuk mereka huni. Namun, Polahi lebih memilih kembali ke hutan. "Tidak tahan tinggal di kampung, panas sekali, dan kami tidak bisa berkebun," ujar Mama Tanio memberi alasan. Kebiasaan primitif yang hingga kini masih terus dipertahankan turunan Polahi adalah kimpoi dengan sesama saudara. Karena tidak mengenal agama dan pendidikan, anak seorang Polahi bisa kimpoi dengan ayahnya, ibu bisa kimpoi dengan anak lelakinya, serta adik kimpoi dengan kakaknya. Selain di Paguyaman, suku Polahi juga bisa ditemui di daerah Suwawa dan Sumalata. Semuanya berada di sekitar Gunung Boliyohuto, Provinsi Gorontalo. "Memang untuk bertemu dengan Polahi primitif nyaris mustahil, tetapi beberapa orang meyakini hingga kini masih bertemu dengan mereka," kata Rosyid lagi.
2.5.        Perkawinan Ciri Khas Suku Polahi
Perkawinan dalam pengertian sederhana diartikan yaitu ikatan pribadi antara pria dan wanita untuk membentuk suatu keluarga atau hubungan kekerabatan. Memiliki fungsi sebagai legalisasi akan kebutuhan seks, memelihara keturunan atau reproduksi dan lain sebagainya. Hal tersebut dilegalkan oleh lingkungannya atau hukum masyarakat sekitar tempat ia hidup. Lebih lanjut mengenai tujuan dan syarat-syarat perkawinan di Indonesia dipaparkan pada UU nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan. Undang-undang tersebut pada Bab II pasal 8 juga menerangkan adapun beberapa larangan perkawinan yaitu: (1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; (2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. (3) berhubungan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu, ibu atau bapak tiri. (4) sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan. (5) sehubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. (6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin.
Pada pedalaman hutan Boliyohato tepatnya di daerah Gorontalo terdapat suatu suku yang bernama Suku Polahi yang masih tradisional, untuk mencapai ke lokasi perkampungan Polahi harus menempuh perjalanan kaki selama tujuh jam, menurut cerita yang berkembang di masyarakat Gorontalo bahwa Suku Polahi adalah mereka yang tidak mau di tindas dan dijajah oleh Belanda.  sehingga dari beberapa kolompok masyarakat banyak yang mengamankan diri mereka dengan cara berpindah tempat masuk kedalam hutan. Pola hidup mereka berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lain “nomaden”.
Keseharian hidupnya mereka habiskan di dalam hutan. Berburu adalah cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Cara memasak mereka juga masih sangat sederhana yaitu dengan memasukkan seluruh bahan makanannya kedalam satu bambu, kemudian bambu tersebut mereka bakar sampai retak atau pecah yang menurut mereka sebagai tanda bahwa masakan mereka telah matang. Masakan tersebut masih belum tercampuri oleh bumbu-bumbuan, mereka hanya mencampurkan semua bahan yang berniat mereka makan. Kekita di dalam hutan, Laki-laki dan perempuan masyarakat Polahi tradisional hanya menggunakan pakaian semacam celana dalam yang terbuat dari daun-daunan untuk menutupi alat kelamin mereka.
Pada masyarakat Suku Polahi tradisional, mereka masih menganut perkawinan sedarah atau incest. Hal semacam ini sudah menjadi salah satu adat di kebudayaan mereka yaitu apabila suatu keluarga memilki anak laki-laki dan perempuan maka secara otomatis dua bersaudara ini akan saling menikah atau dinikahkan, dari sini kita dapat melihat bagaimana anak mereka sekaligus juga menjadi menantu untuk mereka. Begitu juga sang ayah atau ibu mereka dapat menikah dengan anak-anaknya sendiri, jelas disini kita dapat melihat adanya ketidakteraturan pada susunan kekerabatan mereka.
Secara sudut pandagan budaya, incest lebih bersifat emosional daripada masalah hukum. Maka istilah tabu lebih dipilih daripada hanya sekedar larangan. Dalam antropologi incest di pandang sebagai hal yang universal, incest dipandang secara berbeda dalam masyarakat yang berbeda, dan pengetahuan tentang pelanggarannya pun menimbulkan reaksi yang sangat berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Beberapa masyarakat menganggap incest hanya meliputi mereka yang tinggal dalam satu rumah, atau yang berasal dari klan atau keturunan yang sama; masyarakat lain menganggap incest meliputi “saudara sedarah”; sedangkan yang lainnya lagi lebih jauh mengkaitkannya dengan adopsi atau perkawinan.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar

Blogger Zeroalta

Pink Lotus Flower
Please klik some Ads...! close

Ads promo :