Banyak anggapan bahwa membaca pikiran adalah pekerjaan seorang
psikolog, paranormal atau bahkan dukun. Namun, percaya atau tidak, dalam
kehidupan sehari-hari, anda semua adalah seorang pembaca pikiran.
Sebab, tanpa kemampuan untuk mengetahui pikiran serta perasaan orang
lain, kita semua tak akan mampu menghadapi situasi sosial semudah
apapun. Dengan membaca pikiran, kita dapat membuat perkiraan tentang
tingkah laku seseorang lalu membuat kita dapat menentukan keputusan
berikutnya.
Jika kita melakukan pembacaan ini dengan buruk, dampaknya bisa
serius: konflik bisa saja terjadi akibat kesalahpahaman. Contoh yang
nyata kesulitan mengenali pikiran dan perasaan orang lain—mindblindness, dapat dilihat pada penyandang autisme, dimana ketidakmampuan tersebut menjadi suatu kondisi yang mengganggu.
Kemampuan membaca pikiran ini, yang oleh William Ickes—profesor psikologi di University of Texas, disebut sebagai emphatic accuracy.
Darimana asalnya?
Kemampuan (terbatas) kita untuk membaca pikiran menurut Ross Buck–profesor Communication Sciences di University of Connecticut,
memiliki sejarah yang amat panjang. Dikatakannya bahwa, melalui jutaan
tahun evolusi, sistem komunikasi manusia berkembang menjadi lebih rumit
saat kehidupan juga menjadi lebih kompleks. Membaca pikiran lantas
menjadi alat untuk menciptakan dan menjaga keteraturan sosial; seperti
membantu mengetahui kapan harus menyetujui sebuah komitmen dengan
pasangan atau melerai perselisihan dengan tetangga.
Kemampuan ini sendiri muncul sejak manusia dilahirkan.
Bayi yang baru lahir lebih menyukai wajah seseorang dibandingkan
stimulus lainnya, dan bayi berusia beberapa minggu sudah mampu menirukan
ekspresi wajah. Dalam 2 bulan, bayi sudah dapat memahami dan berespon
terhadap keadaan emosional dari pengasuhnya. Nancy Eisenberg, profesor psikologi di Arizona State University
dan ahli dalam perkembangan emosional, menuturkan bahwa bayi berusia 1
tahun mampu mengamati ekspresi orang dewasa dan menggunakannya untuk
menentukan tingkah laku berikutnya. Lanjutnya, bayi usia 2 tahun mampu
menyimpulkan keinginan orang lain dari tatapan matanya, dan di usia 3
tahun, bayi dapat mengenali ekspresi wajah gembira, sedih atau marah.
Saat menginjak usia 5 tahun, bayi sudah memiliki kemampuan dasar untuk
membaca pikiran orang lain; mereka telah memiliki “teori pikiran.” Bayi
tersebut mampu memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan
dan kepercayaan yang berbeda dengan yang mereka miliki.
Anak-anak tadi mengembangkan kemampuan membaca pikiran dengan mengamati pembicaraan orang dewasa, dimana mereka membedakan kompleksitas aturan dan interaksi sosial. Selain itu, kegiatan bermain dengan teman sebaya juga dapat melatih anak untuk membaca pikiran anak lainnya. Namun, tak semua anak bisa mengembangkan kemampuan ini. Anak-anak yang mengalami penelantaran dan kekerasan cenderung mengalami hambatan
dalam mengembangkan kemampuan membaca pikiran ini. Sebagai contoh, anak
yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan kekerasan, mungkin
akan jauh lebih peka terhadap ekspresi marah, walaupun sesungguhnya
emosi marah tidak muncul.
Lanjut lagi, kemampuan membaca pikiran yang lebih maju biasa muncul pada masa remaja akhir.
Hal ini terjadi karena kemampuan untuk menyimpan perspektif dari
beberapa orang di saat yang sama—dan lalu mengintegrasikannya dengan
pengetahuan kita dan orang yang bersangkutan itu—seringkali membutuhkan kemampuan otak yang sudah jauh berkembang.
Bagaimana Membaca Pikiran?
Membaca bahasa tubuh adalah komponen inti dari membaca
pikiran. Lewat bahasa tubuh, kita bisa mengetahui emosi dasar
seseorang. Peneliti menemukan bahwa ketika seseorang mengamati gerak
tubuh orang lain, mereka dapat mengenali emosi sedih, marah, gembira,
takut dll, bahkan ketika pengamatan hanya dilakukan dengan pencahayaan
yang minim.
Ekspresi wajah juga merupakan penanda bagi kita
untuk dapat mengetahui apa yang dipikirkan orang lain. Namun sayangnya,
banyak dari kita yang tidak mampu untuk mendeteksi ekpresi ini. Salah
satu sumber yang kaya akan penanda ini adalah mata seseorang; otot-otot
di sekitar mata. Mata seseorang adalah sumber penanda yang paling kaya
jika dibandingkan bagian lain yang ada di wajah. Contohnya: mata yang
turun ketika sedih, terbuka lebar ketika takut, terlihat tidak fokus
kala sedang berkhayal, menatap tajam penuh kecemburuan, atau menatap
sekitarnya ketika tidak sabar.
Kita dapat semakin tahu pikiran orang lain dari komponen-komponen dalam percakapan—kata-kata, gerak tubuh, dan nada suara. Namun diantara ketiganya, Ickes menemukan bahwa isi pembicaraan menjadi komponen terpenting dalam membaca pikiran dengan baik.
Menjadi Pembaca Pikiran Ulung
Lalu, bagaimana kita bisa menjadi seorang pembaca pikiran yang lebih baik? Tim dari Psychology Today telah merumuskan beberapa hal yang bisa membantu kita membaca pikiran.
Kenalilah orang lain. “Kemampuan membaca pikiran
akan meningkat, semakin kita mengenal lawan bicara kita,” kata William
Ickes. Jika kita berinteraksi dengan seseorang selama kurang lebih
sebulan, kita akan lebih mudah untuk mengenali apa yang ia pikirkan dan
rasakan. Hal tersebut dapat terjadi karena: kita mampu mengartikan
kata-kata dan tidakan orang lain dengan lebih tepat, setelah
mengamatinya dalam berbagai situasi; kedua, kita mengetahui apa yang
terjadi dalam hidup mereka, dan mampu menggunakan pengetahuan itu untuk
memahami mereka dalam konteks yang lebih luas.
Minta umpan balik. Penelitian menunjukkan bahwa
kita dapat meningkatkan kemampuan membaca dengan cara menanyakan
kebenaran dari tebakan kita. Misalnya, “Saya mendengar, sepertinya
Engkau sedang marah. Benar tidak?”
Perhatikan bagian atas dari wajah. Emosi yang palsu, biasanya diungkapkan pada bagian bawah wajah seseorang. Sedangkan, menurut Calin Prodan—profesor neurologi di University of Oklahoma Health Sciences Center, emosi utama bisa dilihat dari sebagian ke atas wajah, biasanya di sekitar mata.
Lebih ekspresif. Ekspresivitas emosi cenderung
timbal balik. Ross Buck, “semakin kita ekspresif, semakin banyak pula
kita akan mendapat informasi mengenai kondisi emosional dari orang lain
di sekitar kita.”
Santai. Menurut Lavinia Plonka, pengarang Walking Your Talk,
seseorang cenderung “menyamakan diri” dengan lawan bicaranya melalui
postur tubuh dan pola napas. Jika anda merasa tegang, teman bicara anda
bisa saja, secara tak sadar, menjadi tegang pula lalu terhambat, dan
akhirnya menjadi sulit untuk dibaca. Ambillah napas panjang, senyumlah,
dan coba untuk menampilkan keterbukaan dan penerimaan kepada siapapun
yang bersama anda.
Tinjauan Kritis
Perlu kita ingat, bahwa ekspresi emosi bisa berbeda di berbagai budaya.
Ekspresi sedih di satu budaya, bisa jadi diinterpretasikan sebagai
emosi lain di budaya lain. Jadi jika ingin membaca seseorang, kita perlu
memperhatikan pula unsur budaya yang berlaku di tempat tinggal orang
itu, jangan sampai salah menebak, atau bahkan memicu terjadinya
kesalahpahaman.
Kita juga tak bisa mengesampingkan fenomena membaca pikiran ini sebagai sebuah fenomena yang biasa diasosisasikan dengan kemampuan supranatural,
sebab percaya tidak percaya, memang ada orang-orang yang memiliki
kemampuan untuk membaca pikiran yang sulit dijelaskan ilmu pengetahuan.
Setidaknya penulis telah menemukan beberapa orang dengan kemampuan
membaca pikiran, yang bahkan mampu melihat masa depan dan berbagai macam
hal yang sulit diterima nalar.
Sumber Pustaka
Mind Reading – Psychology Today
How To Be a Better Mind Reader – Psychology Today
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar