Ajaran
Sang Buddha memiliki suatu keunikan yang bersifat universal dimana mampu
senantiasa berkembang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan setempat.
Sehingga kini terdapat berbagai sekte dan aliran yang terkadang
kelihatannya sangat berbeda, namun pada intinya mempunyai tujuan yang sama,
yaitu untuk mencapai pembebasan [Nirvana/Nibbana]. Ajaran Sang Buddha yang
dikenal sebagai Ajaran Damai dengan semboyan suci : Cinta Kasih
dan Kasih
Sayang, telah tersebar di hampir seluruh Asia, Amerika dan Eropa.
Di
setiap negara biasanya mempunyai ciri khasnya tersendiri dalam menerima
Ajaran Sang Buddha yang merupakan suatu jawaban atas tuntutan dan pengaruh
filosofis, sosial dan kebudayaan setempat. Sang Buddha sendiri agak
pragmatis, Beliau lebih menekankan mengetahui sedikit ajaran tetapi
pengamalan yang lebih intensif. Beliau juga menegaskan bahwa ajaran itu
hanyalah alat untuk dipakai bila diperlukan dan ditinggalkan ketika tujuan
telah tercapai yang diibaratkan rakit yang dipakai untuk menyeberangi
sungai.
Para
pengikut Ajaran Sang Buddha pada umumnya mengakui bahwa tidak ada alasan
apapun bagi mereka untuk memperdebatkan apa yang benar atau yang tidak
benar, apa yang lebih dulu atau yang belakangan, dan apa yang ortodoks atau
yang fleksibel, dimana pada dasarnya tetap satu yaitu batang tubuh ajaran
yang langsung dari Sang Buddha. Berbagai mazhab yang ada , yaitu Theravada
atau Hinayana , dan Mahayana, Vajrayana atau Tantrayana dengan berbagai
aliran dan sekte di dalamnya tersebut bermunculan setelah Sang Buddha
Parinirvana yang ditandai dengan munculnya kosili Buddhis yang pertama di
Rajagraha yang diadakan tidak lama sesudah Buddha Gautama Parinirvana.
Kemudian diikuti konsili kedua yang diadakan di kota Vaisali pada masa
pemerintahan Raja Kalasoka setelah 137 tahun dari konsili pertama. Konsili
ketiga diadakan sekitar 247 SM di Pataliputra pada masa pemerintahan Raja
Asoka. Dan yang terakhir konsili keempat yang diadakan pada tahun 78 Masehi
di Purusapura, Kashmir pada masa pemerintahan Raja Kanishka.
Konsili-konsili
yang diadakan tersebut menyebabkan timbulnya dua aliran besar yaitu Aliran
Utara dan Aliran Selatan. Aliran Utara atau Mahayana (Kendaraan Besar)
perkembangannya di pengaruhi oleh Universitas Nalanda di India . Aliran
Utara atau Mahayana ini dapat dijumpai di Tiongkok, Jepang, Korea, Taiwan,
Tibet, Nepal, Bhutan, Vietnam , yang lebih menitikberatkan penundaan
pencapaian nirvana dengan menapaki jalur ke-Bodhisattva-an agar dapat
menolong dan menyelamatkan lebih banyak makhluk yang belum mencapai tingkat
pencerahan. Sutra-sutra yang dipergunakan umumnya dalam bahasa Sanskerta.
Aliran Selatan atau Theravada (Ajaran para Thera/Sesepuh) yang berdasarkan
naskah awal khotbah Sang Buddha yang menitikberatkan Sangha dan pada
pencapaian Nirvana dengan melalui jalur ke-Arahat-an. Theravada dapat
dijumpai di Sri Lanka, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar . Sutra-sutra yang
dipergunakan umumnya dalam bahasa Pali. Berbagai mazhab yang ada pada
umumnya tetap mengacu kepada pengertian ajaran pokok Sang Buddha yang penuh
Cinta Kasih dan Kasih Sayang dengan inti pengertian yang sama mengenai
Tri-Ratna (Vajrayana menambahkan hormat kepada Sang Guru) , Empat
Kesunyataan Mulia, Trilaksana , Hukum Sebab Akibat, Hukum Karma dan
Tumimbal Lahir.
Kita
perlu menyadari juga bahwa pada eranya Buddha Gautama masih membabarkan
Dharma, tidak terdapat segala nama aliran dan sekte yang seperti kita kenal
saat ini. Malah Buddha Gautama sendiri tidak pernah mengatakan beragama
Buddha apalagi mewakili aliran tertentu baik dari Theravada, Mahayana ,
ataupun Vajrayana. Pada saat ini diperkirakan terdapat sepertiga penduduk
dunia merupakan pengikut Ajaran Sang Buddha. Dari hasil penjelajahan di
beberapa situs internet (web sites), Penyusun menemukan sudah terdapat
banyak sekali terjemahan literatur Ajaran Sang Buddha dalam bahasa Inggris
yang sangat baik, khususnya oleh rekan-rekan Buddhis di negara Barat.
Sejarah
Perkembangan Buddhisme
Buddha
Gautama
(560 SM-480 SM, WBC :623 SM-543 SM)
|
|
|
Sekumpulan
bhikkhu
|
Konsili
Pertama (543 SM)
|
|
Mahasanghika
|
Konsili
Kedua (400 SM)
|
|
Sthaviravada
(349 SM)
|
Konsili
Ketiga (247 SM) Kitab suci Pali
|
|
Mahayana------Sarvastivada
|
Konsili
Keempat (100 M)(Mazhab Utara)
|
|
Aliran
Timur (Tiongkok; Korea; Jepang; Taiwan, dsb.)
|
Tantayana
(Aliran Utara) (Tibet; Nepal;Buthan, dsb.)
|
Theravada
(Mazhab Selatan)(SriLanka;Thailand; Myanmar; Kamboja;Laos)
|
Aliran-aliran:
Dyana(Zen); Avatamsaka; Madyamika; Sukhavati; Saddharmapundarika
(ThienThai); Mahaparinirvana; Vinaya;Vijnanavada (Yogacara)
|
Vajrayana;
Kala Cakrayana; Suhajayana Sekte-sekte: Gelug-pa; Ninma-pa; Milare-pa;
Kargyu-pa;Tsongkha-pa; Kahdam-pa; Sakya-pa.
|
|
PENGARUH
AJARAN CONFUCIUS DAN LAU-ZI DALAM BUDDHISME
Perkembangan
Ajaran Buddha Gautama di daratan Tiongkok mempengaruhi filsafat hidup yang
mendasari kehidupan di Tiongkok waktu itu yaitu paham ajaran Confucius dan
Lau-Zi. Ajaran Confucius yang bersifat positif terhadap realitas dunia dan
hubungan kemanusiaan serta bersifat menghindari pikiran-pikiran spekulatif
dapat menerima kehadiran Buddhisme. Demikian juga ajaran Lau-Zi yang
terkenal dengan gagasan ‘Wu Wei’ atau ‘tidak berbuat ‘ atau membiarkan
segala sesuatu terjadi sesuai dengan hukum alam , sehingga dapat
disandingkan dengan ‘sunyata’ yang dianut dalam Buddhisme.
Sekilas
Pandang Sejarah Perkembangan Buddhisme di Tiongkok
Walaupun
terdapat literatur yang menyatakan bahwa Buddhisme telah berkembang di
Tiongkok pada permulaan abad ke-3 SM (masa dinasti Kaisar Pertama - Shih
Huang-Ti, 246-210 SM ), namun dipercayai Ajaran Buddha Gautama belumlah
secara aktif dipropagandakan sampai awal abad pertama masehi (masa dinasti
Han, Kaisar Ming Ti, 58-76 M). Diceritakan bahwa Kaisar Ming-Ti bermimpi
tentang makhluk terbang yang bercahaya emas yang ditafsirkan sebagai
perwujudan dari Sang Buddha. Kemudian Kaisar mengirimkan duta ke India yang
berhasil membawa pulang Sutra Empat Puluh Dua Bagian
(Sshu-shih-erl-chang-cing) yang tersimpan di vihara di luar kota Lo-Yang.
Sutra ini dipercayai telah diterjemahkan oleh Kashyapamatanga dan Mdian
Dharmaraksha. Pada kenyataannya, Buddhisme memasuki Tiongkok secara bertahap
yang dimulai dari Asia Tengah dan kemudian melalui jalur sutra yang
melewati Asia Tenggara.
Abad
Permulaan di Tiongkok
Buddhisme
yang mulai menyebar di Tiongkok selama dinasti Han, pada awalnya sarat
dengan praktek mistik dalam usahanya beradaptasi dengan ajaran Taoisme yang
lebih dikenal oleh masyarakat pada masa tersebut. Ajaran Buddhisme pada
masa awal tersebut tidak begitu menekankan konsep tanpa diri atau roh
[anatman/anatta], tetapi dalam usahanya menyesuaikan kepercayaan yang
berkembang saat itu mengenai roh yang kekal, maka ditekankan mengenai
Nirvana yang merupakan suatu alam yang kekal. Selain itu diperkenalkan juga
hukum karma sebagai suatu nilai moral dan cinta kasih dan perlunya menahan
nafsu keinginan.
Sampai
akhir dinasti Han masih tercatat adanya gambaran keterpaduan antara ajaran
Taoisme dan Buddhisme khususnya dalam penekanan konsep kekekalan melalui
praktek yang kontroversial. Dipercayai juga bahwa Lau-Zi telah bertumimbal
lahir di India sebagai Buddha Gautama, sehingga terdapat banyak kaisar saat
itu yang menyembah Lau-Zi dan Buddha Gautama dalam suatu altar yang sama.
Terjemahan pertama sutra-sutra Buddhis dalam bahasa China, khususnya yang
berkaitan dengan topik pengendalian napas dan meditasi mistik, banyak
menggunakan kosa kata yang terdapat dalam Taoisme.
Setelah
dinasti Han, di Tiongkok bagian Utara, terdapat banyak bhikshu yang saat
itu dimanfaatkan oleh kaisar sebagai penasihat pemerintahan khususnya yang
berkaitan dengan politik militer dan keahlian mistik lainnya. Sementara itu
di Tiongkok bagian Selatan, Buddhisme mulai menembus aspek filsafat dan
Dharma sebagai pokok ajaran Sang Buddha. Salah satu kontribusi yang
terpenting dalam perkembangan Buddhisme di Tiongkok saat itu adalah
berbagai pekerjaan penerjemahan. Penerjemah yang terkenal saat itu adalah
bhikshu Kumarajiva yang menguasai Veda Hindu, metafisika, astronomi,
termasuk berbagai sutra dari Hinayana dan Mahayana.
Selama
abat ke-5 sampai ke-6 Masehi, telah bermunculan berbagai sekte dari India
termasuk sekte baru di Tiongkok. Buddhisme menjadi suatu kekuatan
intelektual yang sangat berpengaruh saat itu, sehingga mengalami
perkembangan yang pesat sekali. Tidak mengherankan juga bahwa Buddhisme
dinyatakan sebagai agama negara pada masa dinasti Sui (581-618 M) yang
berhasil mempersatukan seluruh daratan Tiongkok.
Buddhisme
selama Dinasti T'ang
Masa
kejayaan Buddhisme di Tiongkok terjadi selama masa pemerintahan dinasti
T'ang (618-907 M). Walaupun kebanyakan kaisar T'ang saat itu adalah
pengikut Taoisme, mereka juga menghormati Buddhisme yang telah begitu
terkenal. Selama masa pemerintahan dinasti T'ang, vihara dan sangha
mendapatkan perlakuan yang baik dari pemerintahaan dan kehidupan bhikshu
diakui secara sah oleh negara.
Selama
periode tersebut, tercatat banyak sekte yang berdiri dan beberapa
diantaranya berhasil dengan tekun menyebarkan Dharma, serta telah berhasil
mengajarkan sutra-sutra secara terpadu dan sistimatik. Tercatat banyak
sekali jumlah vihara yang berhasil didirikan dan daerah-daerah yang
dikuasai. Demikian juga dalam periode ini, tercatat banyak sekali para
cendekiawan yang melakukan perjalanan ke India, suatu perjalanan suci yang
sulit, berhasil memperkaya literatur Buddhisme di Tiongkok dalam bentuk
naskah dan inspirasi intelektual ataupun spiritual yang dibawa pulang dari
India. Walaupun begitu, Buddhisme tidak pernah berhasil menggantikan secara
total kepercayaan Taoisme dan Confucianisme yang sama-sama berkembang saat
itu.
Hingga
akhirnya pada tahun 845, pada masa pemerintahan kaisar Wu-tsung, dimulailah
pemberantasan agama yang berasal dari luar Tiongkok. Menurut catatan yang
ada, terdapat 4.600 vihara dan 40.000 tempat pemujaan Buddhis lainnya yang
dimusnahkan, termasuk 260.500 bhikshu dan bhikshuni yang dipaksa untuk
menjalani kehidupan dalam masyarakat sebagai orang biasa.
Buddhisme
setelah dinasti T'ang
Walaupun
Buddhisme di Tiongkok belumlah pulih kembali secara total sesudah era
pemusnahan tahun 845, namun tetap dapat memainkan suatu peranan yang
penting dalam kehidupan rakyat kebanyakan di Tiongkok waktu itu, berbagai
tradisi dan peninggalan tetap dapat dipertahankan. Di satu sisi, Buddhisme
berhasil mempertahankan identitasnya dan menghasilkan berbagai bentuk
pemahaman baru yang dituangkan lewat berbagai karya naskah yang bernafaskan
Buddhisme. Antara lain karya yang penting seperti, yu lu (Pepatah
Tercatat), Hsi-yu-chi (Perjalanan Ke Barat), dsb. Di sisi lainnya,
Buddhisme mulai menyatukan konsep ajarannya dengan ajaran Confucius dan
tradisi Taoisme dengan membentuk suatu gabungan kepercayaan yang mencerminkan
ketiga tradisi kepercayaan tersebut secara menggembirakan.
Di
antara berbagai sekte yang ada, terdapat dua sekte mempunyai pengaruh
paling besar, yaitu sekte Ch'an (Zen) yang menekankan meditasi
[dhyana/jhana], dan sekte Tanah Suci [Ching-Tu] yang menekankan puja
bhakti. Sekte Ch'an membawa pengaruh cukup besar dalam kebudayaan melalui
berbagai sarana termasuk hasil seni. Sebagai contoh, seniman Ch'an selama
dinasti Sung (960-1279) sangat mempengaruhi hasil kreasi seni yang tertuang
dalam lukisan alam Tiongkok. Para seniman tersebut menyampaikan citra
bunga, sungai, dan pohon, yang dituangkan secara spontan, dengan tarikan
yang penuh arti untuk mencerminkan pemahaman terhadap alunan dan kekosongan
atas segala realitas. Sedangkan sekte Tanah Suci membawa pengaruh yang
besar terhadap keseluruhan rakyat Tiongkok saat itu yang adakalanya
dikaitkan dengan kegiatan kelompok rahasia, dan kegiatan pemberontakan
rakyat yang menentang pemerintahan. Tetapi kedua sekte yang kelihatan
memiliki tradisi yang berbeda sering saling berhubungan.
Selama
awal abad ke-20, Tiongkok mengalami gerakan pembaharuan Buddhis yang
bertujuan untuk membangun kembali tradisi Buddhis China dengan menerapkan
berbagai ajaran dan institusi yang disesuaikan dengan kondisi modernisasi
saat itu. Namun, pengaruh perang China dan Jepang, dan pendirian partai
komunis saat itu tidak begitu mendukung kegiatan Buddhis yang ada. Umat
Buddhis menjadi korban tekanan pemerintahan pada masa Revolusi Kebudayaan
(1966-1969). Sejak tahun 1976, pemerintahan China sudah mulai menunjukkan
sikap kebijaksanaan yang lebih bertoleransi, tetapi perkembangan agama
Buddha tetap sulit untuk ditentukan.
Buddhisme
Ch'an
Tokoh
utama perkembangan Buddhisme Ch'an di daratan Tiongkok adalah Bodhidarma
(Tat Mo Cou Su), seorang bhikshu dari India Utara yang merantau ke Tiongkok
pada tahun 520 M. Sehingga berkembang ajaran Ch’an Buddhisme yang merupakan
salah satu aliran Buddhisme Mahayana dengan enam sesepuh yang dikenal ,
yaitu , Bodhidarma, Hui Khe, Shen Chie, Tao Sin, Hung Jen dan Hui Neng.
Melalui sesepuh VI, Hui Neng , Ch’an Buddhisme berkembang dengan pesat.
Dari
Tiongkok ajaran Ch’an berkembang ke Jepang dan terkenal dengan istilah Zen.
Ch’an diasosiasikan sebagai ajaran yang membatasi kata-kata, karena
kata-kata tidaklah identik dengan Kebenaran. Hal ini dapat diibaratkan
dengan telunjuk yang menunjuk bulan tetapi bulan tidak dapat menunjuk
telunjuk dimana sesuai dengan sifat Tao dalam ajaran Lau-Zi, yaitu
"Tao yang dapat dibicarakan bukanlah Tao yang sebenarnya atau yang
abadi dan nama yang dapat diberikan bukanlah nama yang sejati" (Tao
Tee Cing Bab I, 1. ) demikian juga bunyi ayat berikut , "Tiada nama
itulah kondisi permulaan terjadinya Langit dan Bumi. Setelah ada nama
itulah sumber dari segala benda." (Tao Tee Cing Bab I, 2) . Dalam
Buddhisme dapat disamakan dengan ketidakkekalan [anicca] dan
ketanpa-intian/ketanpa-akuan [anatta].
Ajaran
Lau-zi yang menekankan Jalan Ketuhanan [TAO] yang mengatur hubungan antara
manusia dengan alam semesta atau gejala-gejala alam di luar sifat manusia,
dan ajaran Confucius yang melengkapinya dengan Jalan Kemanusiaan [JEN]
dengan menekankan hubungan antar manusia dan lingkungannya dalam kehidupan
bermasyarakat. Ajaran Buddha Gautama pada dasarnya dapat melengkapi ajaran
Lau-Zi dan ajaran Confucius dengan menghubungkan TAO dan JEN dalam suatu
perwujudan yang merupakan perluasan pengertian dari Jalan Tengah.
Untuk
itu Penyusun merasa perlu melengkapi pengertian Buddhisme ini dengan
berbagai filosofi ajaran yang Penyusun nilai cukup relevan untuk dihayati
baik yang terdapat dalam ajaran Confucius ataupun ajaran Lau-Zi yang akan
dibahas lebih lanjut pada Bagian Kedua dan Ketiga berikut ini. Sehingga
akan bertambahlah khasanah pengetahuan Buddhisme kita dalam menghadapi
realitas kehidupan duniawi saat ini dengan tanpa mengabaikan adanya tujuan
pencapaian pembebasan [Nirvana/Nibbana].
Nehru
: "If any question has to be considered, it has to be considered
peacefully and democratically in the way taught by the Buddha"
("Jika
terdapat pertanyaan yang dipertimbangkan maka hendaknya dipertimbangkan
secara damai dan demokratis sesuai dengan Jalan yang diajarkan oleh Sang
Buddha")
|
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar