“Ciwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhang
Dharma Mandrawa.”
(Kitab
Sutasoma oleh Mpu Tantular)
Siapa yang tak tahu istilah “Bhinneka Tunggal Ika”? Istilah
ini dijadikan semboyan Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tetapi tetap
satu. Dalam Kitab Sutasoma, kalimat tersebut mengacu pada agama masyarakat pada
masa itu, yaitu Buddha dan Hindu (Syiwa) di masa Kerajaan Majapahit. Majapahit merupakan
kerajaan yang dibangun oleh Raden Wijaya di Desa Tarik pada tahun 1294 M.
Majapahit kian berjaya hingga wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Indonesia
sekarang sampai ke Filipina, Malaysia dan Singapura. Yang menarik adalah
berarti bahwa pada masa Majapahit, Agama Syiwa dan Buddha sedang berkembang.
Namun bagaimana mungkin dua agama besar dapat berada dalam satu kerajaan yang
besar pula?
Jelas bahwa dua agama berbeda
dapat berkembang dengan baik karena toleransi beragama yang tinggi. Disebutkan
dalam tulisan Mpu Tantular lainnya yaitu,
“Dan
tidak ada beda antara dewa Buddha dan dewa Syiwa, raja para dewa.
Konon,
Sang Buddha dan Syiwa yang termasyur itu adalah dua zat yang berbeda.
Mereka
memang beda, tetapi bagaimana mungkin perbedaan itu dapat dikenali dalam
sekelebat, karena Kebenaran Buddha dan Kebenaran Syiwa adalah satu.
Mereka
memang berbeda, tetapi pada dasarnya mereka sama saja,
Karena
kebenaran tak bisa dipecah-pecah.
(Arjuna
Wiwaha, bait 2)
Tulisan ini menjelaskan prinsip
utama politik Kertanegara, Raja Singhasari yang merupakan leluhur Majapahit.
Prinsip ini terus dipakai oleh raja dan ratu Majapahit yang tak terlepas dari
kendali Gayatri yang tak lain adalah anak dari Kertanegara yang masih memegang
teguh prinsip ayahya.
Bukti lainnya bahwa toleransi
agama di majapahit sangat tinggi yaitu:
1.
Ditunjuknya pejabat tinggi
keagamaan, yaitu
- Dharmadhyaksa
Ring Kasaiwan (mengurusi agama Syiwa)
- Dharmadhyaksa
Ring Kasogatan (mengurusi agama Buddha Kasogatan)
- Dharma
Lpas Karsyan (pejabat pusat mantra ber-haji yang mengurusi agama lain)
2.
Dibangunnya candi Buddha dan
Hindu dalam satu tempat atau berdampingan
.
- Candi
Prambanan berdampingan dengan Candi Sewu
- Candi
Jawi yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara (Raja Singhasari, namun
dibangun pada masa Majapahit karena merupakan leluhur Majapahit). Candi ini menampilkan
menara Hindu yang bermahkotakan stupa Buddha. Candi ini mengekspresikan doktrin
persatuan pada kedua agama.
Jelas bahwa besarnya Kerajaan
Majapahit saat itu tidak terlepas dari sistem keagamaannya. Kerukunan
antaragama yang baik akan membawa kerajaan kian berjaya. Kebijakan dan pemerintahan
pun tidak menyimpang dari aturan agama. Cara perluasan kekuasaan didasari cinta
kasih dan rasa persatuan, bukan keserakahan yang mengakibatkan peperangan
sehingga wilayah kekuasaanya menjadi kian luas.
Alangkah indahnya bila di suatu
wilayah rakyatnya hidup rukun, dengan toleransi agama yang tinggi, penguasa
bertindak sesuai ajaran agama, maka itulah yang disebut dengan hidup tentram
dan makmur.
Dengan belajar dari persatuan
Syiwa-Buddha di masa Majapahit, diharapkan Indonesia saat ini bisa lebih
meningkatkan toleransi beragamanya. Bukan seperti sekarang, mengagung-agungkan
agamanya lalu menjatuhkan agama orang lain. Tentu saja harmoni agama ini
merupakan harapan para pendiri Negara Indonesia. Jika tidak, untuk apa Indonesia
memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika?
Nama : Imelda Susanti
NIM : 0250112020508
Semester : II (dua)
Jurusan : Dharmaduta
Prodi : Kepenyuluhan
Makul : Teknik Mengarang
Tema : Kebudayaan nusantara Zaman Majapahit
Topik : Sistem keagamaan
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar