Ia datang seperti ditentukan oleh
waktu, namun sering pula sesukanya. Kadang sendirian, mengendap-endap,
berjingkat-jingkat, menyelinap, lalu diam-diam memberi kejutan.
Berinai-rinai di sore hari mengubah waktu menjadi shahdu. Lalu
mengalunlah musik mozart seiring tariannya di atas tanah, dentum drumnya
di atas genting, dan siulannya di sela-sela dedaunan. Ia menebarkan
aura dingin menenangkan. Dalam waktu seperti itu siapa pun pasti
mendadak ingin membuat puisi, lagu, teringat kekasih, mantan pacar,
orang yang dikasihi, kawan yang lama tak jumpa, muncul ide cemerlang,
atau malah ingat utang-utang di toko sebelah. Dalam dunia
cinta eros kedatangannya selalu dihubungkan dengan hal yang dramatis dan
romantis. Ia berinai-rinai seakan-akan mencipta suasana yang amat
mendukung kisah asmara. Dalam pada itu ia juga amat dekat dengan
kisah-kisah yang pedih, cinta tak sampai, perpisahan, dan kehilangan
seseorang dicintai. Dalam kesempatan seperti ini ia seperti malaikat surga yang meniup sangkakala beraura cinta.
Situasi akan berbalik 1800
bila ia datang diantar petir dan bersama angin menggulung-gulung. Seisi
alam seakan merunduk tak berani memandang hadirnya. Burung-burung
pulang ke sarang atau sembunyi dibalik dedaunan, kumbang berhenti
membuat liang, semut rayap berhenti kerja rodi, tikus sembunyi di gudang
padi, ayam jago tak berani sesumbar, penjual es lilin alih profesi
menyewakan payung, semut-semut pada bingung, sambal terasi di atas
menja, lampu rumah sudah menyala, seorang penulis tarik selimut cincai.
Ia datang seperti malaikat pencabut nyawa.
Ia kebalikan dari harta benda,
sedikit ia dicintai banyak ia ditakuti. Sungguh sebenarnya tak perlu
muncul perasaan yang tak perlu jika dalam setiap makhluk ada saling
sinergi terutama dengannya. Keseimbangan alam dan persatuan antar
mereka haruslah terjaga. Ia sendiri ada dengan salah satu misinya:
menjaga keseimbangan alam. Ia selalu bergulir menyeimbangkan
gejolak-gejolak alam yang mungkin mampu merusak kesinergian. Ia tak
mengambil seluruh waktu hanya untuknya. Ia membagi waktu ke waktu demi
terjaganya kelangsungan hidup. Dalam hal itu ia tetap membimbing, tak
meninggalkan sepenuhnya.
Dalam kurun waktu tertentu ia tak terjun dari langit. Bersama petir ia menghilang entah ke mana.
Para pengelana menemukannya sembunyi dalam ceruk-ceruk gua. Para petani
mendapatinya dalam liang-liang bumi. Para penambang melihatnya dalam
sela-sela pasir dan celah bebatuan. Pegawai kantor PEMDA menyapanya
dalam gelas beraroma kopi. Ibu rumah tangga merebusnya di atas nyala
api. Tukang ledeng memergokinya sedang jalan-jalan dalam lubang-lubang
pipa. Para pejalan kaki memandangnya pilu menggenang di sungai tengah kota (kotor penuh sampah, hitam pekat, bau busuk menjijikkan).
Hampir tak dapat dikenali lagi sebagai aslinya. Semua itu terjadi demi
memberi kesempatan kepada tanah, bebatuan, pepohonan dan makhluk lainnya
untuk mandi sinar matahari sepuasnya. Dalam pada itu
ia seperti seorang guru kehidupan, seorang zen, master. Ia menuntun
petir pulang kandang. Menggiring angin panas untuk berhembus lebih
kencang.
Tanpa disadari dia-lah
guru kehidupan ini. Ia tak pernah berucap di depan kelas, tak pernah
menjelaskan teori-teori muktahir tentang alam semesta. Dalam heningnya
ia membimbing setiap makhluk menuju kediaman sang Ilahi, menuntun mereka
yang lemah untuk bangkit kembali melanjutkan perjalanan hidup ini.
Dialah sang guru kalau pun
boleh disebut begitu. Jika ada orang yang merasa paling pintar di muka
bumi ini dan menyombongkan diri patutlah ia direndam di dalam kolam
seumur hidup. Karena segala ilmu pengetahuan tidak datang dalam dirinya
sendiri, tetapi berkat jasa banyak orang yang menularkan ilmu kepadanya,
banyak makhluk yang ikut andil, lebih-lebih Dia yang empunya segala
ilmu yang mencurahkan kepadanya. Maka semakin pandai orang sebaiknya
semakin bijaksana dan merendahkan diri, semakin ingin berbakti untuk
kemajuan umat manusia, tidak hanya sibuk memperbesar perutnya sendiri.
Dalam diri manusia tanpa disadari
sebenarnya air telah mendidiknya semenjak dalam kandungan. Dimana air
bisa panas maupun dingin, begitu juga dengan sifat manusia: bisa
berangasan dan juga bisa kalem. Merusak tubuh dan akhlak kita sama juga
dengan mengotori air dalam tubuh kita sendiri. Padahal air mampu menarik
hal-hal lain di luar dirinya. Maka jika air dalam tubuh kita keruh maka
akan menarik hal-hal yang kotor pula kedalam kehidupan kita;
kemalangan, ketakutan, sakit, kehancuran, keangkaramurkaan. Dan
sebaliknya jika air dalam tubuh kita jernih maka akan menarik hal-hal
positif untuk diri kita: rezeki lancar, kesehatan terjaga, kemujuran,
keberuntungan, kesuksesan, kebijaksanaan.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar