Saturday, 24 May 2014

Guru Kehidupan #Filosofi Air

Ia terlihat selalu berkumpul di suatu tempat yang rendah. Ia diam menenangkan. Ia yang banyak namun manunggal. Siapa terlena akan dimabukkan hingga tenggelam di dalamnya. Di dalamnya hiduplah segala makhluk dengan nyaman dan damai sentausa. Ia menjadi ruang untuk kehidupan. Selain sebagai pribadi ternyata ia juga sebuah ruang. Ia menjadi rumah bagi makhluk. Ia ambyar dengan segala yang ada. Ia mendidik mereka menemukan hidup. Menemukan jati diri mereka masing-masing. Ia membimbing ikan untuk berenang. Melatih katak untuk menyelam. Mengajari teratai untuk mengurai. Melatih angsa untuk mengambang. Menopang serangga untuk berjalan di atasnya. Ia membentuk mereka masing-masing menjadi pribadi-pribadi yang unik.

Ia datang seperti ditentukan oleh waktu, namun sering pula sesukanya. Kadang sendirian, mengendap-endap, berjingkat-jingkat, menyelinap, lalu diam-diam memberi kejutan. Berinai-rinai di sore hari mengubah waktu menjadi shahdu. Lalu mengalunlah musik mozart seiring tariannya di atas tanah, dentum drumnya di atas genting, dan siulannya di sela-sela dedaunan. Ia menebarkan aura dingin menenangkan. Dalam waktu seperti itu siapa pun pasti mendadak ingin membuat puisi, lagu, teringat kekasih, mantan pacar, orang yang dikasihi, kawan yang lama tak jumpa, muncul ide cemerlang, atau malah ingat utang-utang di toko sebelah. Dalam dunia cinta eros kedatangannya selalu dihubungkan dengan hal yang dramatis dan romantis. Ia berinai-rinai seakan-akan mencipta suasana yang amat mendukung kisah asmara. Dalam pada itu ia juga amat dekat dengan kisah-kisah yang pedih, cinta tak sampai, perpisahan, dan kehilangan seseorang dicintai. Dalam kesempatan seperti ini ia seperti malaikat surga yang meniup sangkakala beraura cinta.
Situasi akan berbalik 1800 bila ia datang diantar petir dan bersama angin menggulung-gulung. Seisi alam seakan merunduk tak berani memandang hadirnya. Burung-burung pulang ke sarang atau sembunyi dibalik dedaunan, kumbang berhenti membuat liang, semut rayap berhenti kerja rodi, tikus sembunyi di gudang padi, ayam jago tak berani sesumbar, penjual es lilin alih profesi menyewakan payung, semut-semut pada bingung, sambal terasi di atas menja, lampu rumah sudah menyala, seorang penulis tarik selimut cincai. Ia datang seperti malaikat pencabut nyawa.
Ia kebalikan dari harta benda, sedikit ia dicintai banyak ia ditakuti. Sungguh sebenarnya tak perlu muncul perasaan yang tak perlu jika dalam setiap makhluk ada saling sinergi terutama dengannya. Keseimbangan alam dan  persatuan antar mereka haruslah terjaga. Ia sendiri ada dengan salah satu misinya: menjaga keseimbangan alam. Ia selalu bergulir menyeimbangkan gejolak-gejolak alam yang mungkin mampu merusak kesinergian. Ia tak mengambil seluruh waktu hanya untuknya. Ia membagi waktu ke waktu demi terjaganya kelangsungan hidup. Dalam hal itu ia tetap membimbing, tak meninggalkan sepenuhnya.
Dalam kurun waktu tertentu ia tak terjun dari langit. Bersama petir ia menghilang entah ke mana. Para pengelana menemukannya sembunyi dalam ceruk-ceruk gua. Para petani mendapatinya dalam liang-liang bumi. Para penambang melihatnya dalam sela-sela pasir dan celah bebatuan. Pegawai kantor PEMDA menyapanya dalam gelas beraroma kopi. Ibu rumah tangga merebusnya di atas nyala api. Tukang ledeng memergokinya sedang jalan-jalan dalam lubang-lubang pipa. Para pejalan kaki memandangnya pilu menggenang di sungai tengah kota (kotor penuh sampah, hitam pekat, bau busuk menjijikkan). Hampir tak dapat dikenali lagi sebagai aslinya. Semua itu terjadi demi memberi kesempatan kepada tanah, bebatuan, pepohonan dan makhluk lainnya untuk mandi sinar matahari sepuasnya. Dalam pada itu ia seperti seorang guru kehidupan, seorang zen, master. Ia menuntun petir pulang kandang. Menggiring angin panas untuk berhembus lebih kencang.
Tanpa disadari dia-lah guru kehidupan ini. Ia tak pernah berucap di depan kelas, tak pernah menjelaskan teori-teori muktahir tentang alam semesta. Dalam heningnya ia membimbing setiap makhluk menuju kediaman sang Ilahi, menuntun mereka yang lemah untuk bangkit kembali melanjutkan perjalanan hidup ini. Dialah sang guru kalau pun boleh disebut begitu. Jika ada orang yang merasa paling pintar di muka bumi ini dan menyombongkan diri patutlah ia direndam di dalam kolam seumur hidup. Karena segala ilmu pengetahuan tidak datang dalam dirinya sendiri, tetapi berkat jasa banyak orang yang menularkan ilmu kepadanya, banyak makhluk yang ikut andil, lebih-lebih Dia yang empunya segala ilmu yang mencurahkan kepadanya. Maka semakin pandai orang sebaiknya semakin bijaksana dan merendahkan diri, semakin ingin berbakti untuk kemajuan umat manusia, tidak hanya sibuk memperbesar perutnya sendiri.
Dalam diri manusia tanpa disadari sebenarnya air telah mendidiknya semenjak dalam kandungan. Dimana air bisa panas maupun dingin, begitu juga dengan sifat manusia: bisa berangasan dan juga bisa kalem. Merusak tubuh dan akhlak kita sama juga dengan mengotori air dalam tubuh kita sendiri. Padahal air mampu menarik hal-hal lain di luar dirinya. Maka jika air dalam tubuh kita keruh maka akan menarik hal-hal yang kotor pula kedalam kehidupan kita; kemalangan, ketakutan, sakit, kehancuran, keangkaramurkaan. Dan sebaliknya jika air dalam tubuh kita jernih maka akan menarik hal-hal positif untuk diri kita: rezeki lancar, kesehatan terjaga, kemujuran, keberuntungan, kesuksesan, kebijaksanaan.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar

Blogger Zeroalta

Pink Lotus Flower
Please klik some Ads...! close

Ads promo :