Editor:
Tim Buddhakkhetta
Sumber:
Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama Buddha, Tim
Penyusun, CV.Dewi Kayana Abadi Jakarta
Agama Buddha
berkembang di Siam (sekarang disebut Thailand) sudah sejak awal abad pertama
atau kedua Masehi. Hal ini diketahui berdasarkan hasil penggalian arkeologi di Phra Pathom (kira-kira 50
kilometer sebelah barat Bangkok) dan Pong Tuk (sebelah barat Phra Pathom)
berupa rupaṁ Buddha serta
lambang agama Buddha yaitu dhammacakka.
Selain itu, juga
dijumpai reruntuhan bangunan serta pahatan bagus yang oleh para ahli diduga
berasal dari pengaruh jaman Gupta (India) serta diduga merupakan peninggalan
dari Dvaravati. Dvaravati adalah suatu kerajaan yang makmur pada
jaman Huang Tsang, yaitu bagian pertama abad ke-7 M.
Pada abad ke-8
atau 9, Thailand dan Laos secara politis merupakan bagian dari Kamboja serta
dipengaruhi oleh keadaan kehidupan beragama dari kerajaan Kamboja, dimana agama
Brahmana dan agama Buddha hidup berdampingan. Pada pertengahan
abad ke-13, terjadi perubahan politik sehingga Thailand yang menguasai seluruh
wilayah Thailand dan Laos serta mengakhiri supremasi politik Kamboja di wilayah
tersebut. Di bawah penguasaan Thailand, agama Buddha Theravāda dan
bahasa PāỊi kembali berjaya di Thailand dan Laos.
Raja Thailand,
Sri Suryavamsa Rama Maha Dharmikarajadhiraja, bukan hanya sebagai seorang
penguasa yang mendorong pengembangan agama Buddha, tetapi beliau juga
adalah seorang bhikkhu yang aktif menyebarkan Dhamma ke seluruh
negeri. Pada tahun 1361, Raja Thailand mengirim sejumlah bhikkhu dan ācariya
ke Ceylon serta mengundang Mahasami Sangharaja dari Ceylon untuk berkunjung ke
Thailand. Atas prakarsa dan kegiatan raja, maka agama Buddha dan bahasa PāỊi
berkembang luas mencakup kerajaan-kerajaan kecil Hindu di wilayah Laos seperti Alavirastra,
Khmerrastra, Suvarnagrama, Unmargasila, Yonakarastra, dan Haripunjaya.
Sejak saat itu, agama Buddha mulai menyebar dan agama Hindu mulai
memudar.
Meskipun
Thailand mendapatkan pengaruh agama Buddha yang mendalam dari Cyelon,
namun hal tersebut telah dibayar kembali oleh Thailand, dimana raja Thailand
mengirimkan rupaṁ Buddha dari
emas dan perak, salinan kitab-kitab suci agama Buddha serta sejumlah bhikkhu
ke Ceylon. Dari peristiwa tersebut, dapat diartikan bahwa pada waktu itu Ceylon
mengakui Thailand sebagai negeri yang memiliki agama Buddha dalam wujud
yang murni.
Pada masa
pemerintahan raja Rama I (1789) telah ditulis sebuah kitab tentang sejarah
pembacaan kitab suci (History of Recitals) oleh seorang bhikkhu
dari kerajaan, yaitu Somdej Phra vanarat (Bhadanta
Vanaratana). Dalam kitab tersebut, Bhikkhu Bhadanta Vanaratana
menyebutkan sembilan Saṅghayāna dalam agama Buddha
(Theravāda). Sidang saṅgha tersebut
diselenggarakan tiga kali di India ( tiga sidang yang pertama), empat kali di
Ceylon (sidang yang ke-4, 5, 6, dan 7) serta dua kali di Thailand (sidang yang
ke-8 dan 9).
Saṅghayāna ke-8 di
Thailand berlangsung pada masa pemerintahan Raja Sridharmacakravarti
Tilaka Rajadhiraja, penguasa Thailand bagian utara,
diselenggarakan di Vihāra Mahābodhi Ārāma, Chiengmai, selama satu
tahun penuh antara tahun 1457 dan tahun 1483, sedangkan Saṅghayāna ke-9 (menurut
versi Thailand) berlangsung pada tahun 1788 setelah terjadi perang antara
Thailand dengan negeri tetangganya. Dalam peperangan tersebut ibukota Ayuthia
(Ayodhya) hancur terbakar, banyak kitab dan kitab suci Tipiṭaka telah menjadi
abu. Raja Rama I dan saudaranya sangat prihatin atas keadaan saṅgha. Dan setelah
mendengar pendapat para bhikkhu, kemudian diselenggarakan Sidang Saṅgha (Saṅghayāna) yang dihadiri
oleh 218 Thera dan 32 Ācariya dan selama satu tahun membacakan
kembali kitab suci Tipiṭaka. Selama dan
sesudah Sidang Saṅgha, dilakukan
rehabilitasi bangunan vihāra dan pagoda, serta dibangun juga
bangunan-bangunan baru.
http://www.buddhakkhetta.com/User/Kat1/Sub12/Art75/baca.php?com=1&id=175
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar