Oleh :
U. AUNG THEIN
Adalah sangat menarik untuk dicatat bahwa begitu ilmu pengetahuan
tentang manusia dan alam semesta itu bertambah maju,
maka makin banyak diketemukan bukti-bukti yang
memperkuat kebenaran doktrin yang diajarkan oleh Sang
Buddha. Agama Buddha adalah Jalan Kebebasan (atau
Jalan untuk Mencapai Nirvana), yang diajarkan oleh Sang
Buddha. Ajaran Agama Buddha tersebut dikemukakan didalam ajaran
tentang Kasunyataan yang dinamai Empat Kasunyataan Mulia,
yang juga mencakup ajaran yang dinamai Delapan Jalan
Utama. Kebebasan berarti berhentinya secara tuntas
dan sempurna, dari mengalami cyclus kehidupan dan
kematian.U. AUNG THEIN
Ilmu pengetahuan adalah penyelidikan yang objektif terhadap hukum-hukum alam untuk dapat membentuk generalisasi-generalisasi dan keterangan-keterangan mengenai fakta-fakta yang diobservasi. Tepatlah pernyataan yang dikemukakan oleh seorang ahli physiologi Perancis, yang bernama Loeb, yang berbunyi : “Tujuan yang paling utama dari ilmu pengetahuan, ialah meramalkan sesuatu.”
Jalan untuk mencapai Kebebasan, yang diajarkan oleh Sang Buddha, itu dapat digambarkan sebagai suatu penghayatan kehidupan yang berisi Pengalaman-pengalaman dan Eksperimen-Eksperimen. Sama seperti bahwa didalam ilmu pengetahuan, itu sang penyelidik (= ilmuwan) mengadakan langkah-langkah secara setapak demi setapak, demikian juga didalam Agama Buddha, seseorang itu maju menuju ke pencapaian tujuan, secara selangkah demi selangkah; pula diperolehnya pengetahuan, itu juga secara sedikit demi sedikit. Tidak ada hal-hal yang tabu (atau dilarang) untuk ditanyakan; kepercayaan yang membuta itu membawa orang kesana-kemari, yang tidak menentu tujuannya. Pengalaman yang teguh dalam pelaksanaan ajaran Berfikir Yang Benar, Berkata Yang Benar, dan Berbuat Yang Benar, akan mengubah seseorang untuk memiliki sifat teguh dalam melakukan hal-hal yang mulia, yang membawanya hingga tiba pada titik puncak pencapaian keadaan berhentinya, atau bebasnya, dari cyclus kelahiran dan kematian, secara tuntas dan sempurna.
Ke-Delapan Jalan Utama itu digolongkan menjadi Tiga Bagian Utama; Bagian Utama Yang Pertama, Yang terdiri dari Tiga Ajaran, yaitu Ajaran untuk; Berbicara Yang Benar, Berbuat Yang Benar, dan Ber-Mata-Pencaharian Yang Benar, dinamai Bagian Utama Ajaran Kesusilaan (= Virtue); Bagian Utama Yang Kedua, yang terdiri dari Tiga Ajaran, yaitu Ajaran untuk; Ber-Usaha Yang Benar, Ber-Perhatian Yang Benar, dan Ber-Konsentrasi Yang Benar, dinamai Bagian Utama Ajaran Meditasi (= Meditation); dan Bagian Utama Yang Ketiga, yang terdiri dari dua Ajaran, yaitu Ajaran untuk : Ber-Pandangan, atau Ber-Pengertian, Yang Benar, dan Ber-Cita-Cita, atau Ber-Niat, Yang Benar, dinamai Bagian Utama Ajaran Kebijaksanaan (= Wisdom = Realization).
Didalam Agama Buddha, diterima sebagai fakta yang fundamental bahwa semua makhluk hidup itu adalah merupakan suatu bentuk yang integral dari Ke-Lima ‘Skandha’ yaitu: Mentalitas (= Mentality), persepsi (= perception), Sensasi (= Sensation), Aktivitas-Aktivitas Mental (= Mental Activities), dan Kesadaran (= Consieousness). Ke-Lima Komponen, yang sifatnya tidak permanen dan saling bergantungan yang satu dengan yang lainnya itu, melalui aksi-aksinya yang tetap berlangsung secara berlanjut, dalam titik-titik proses kehidupan, menghasilkan suatu mata-rantai kelahiran kembali (atau kelahiran dan kematian secara berulang-ulang), sejak waktu yang tidak berpermulaan, dan akan berlanjut terus, sampai tiba pada titik ada counter-aksi, yang dapat melenyapkan karma-karma yang menyebabkan adanya kelahiran kembali, atau sampai titik dapat dicapainya Kebebasan yang final, dan tanpa terdapatnya sisa-sisa karma lagi.
Marilah kita pelajari mengenai proses kehidupan dan “MANUSIA”, yang terdiri dari lima komponen tersebut dimuka; yang mengenai hal itu, Sang Buddha bersabda sebagai berikut: “Didalam tubuh (maksudnya barangkali yang dinamai badan-sebab, atau karana-sharira), yang keberadaannya lama sekali jangka waktunya, dan (hampir-hampir) tak memiliki batas waktu (yang dipakai dalam banyak kelahiran dan kematian itu), terletak mysteri-mysteri dan problema-problema dari alam semesta.”
Didalam naskah Satipatthana Sutta dan Mahasatipatthana Sutta, diterangkan bahwa tubuh ini merupakan suatu gabungan dari berbagai organ, yang terdiri dari zat-zat cair dan padat. Selanjutnya, diterangkan pula didalam naskah “Milinda-Panha” bahwa didalam menjawab pertanyaan Sang Raja, seorang yang berkepribadian yang besar dan suci, telah membandingkan tubuh ini dengan kumpulan bagian-bagian dan telah mengemukakan pendapatnya bahwa disitu (didalam tubuh) tidak terdapat sesuatu entitas (= entity) yang menempatinya.
Dari sudut anatomis dan biochemis, badan ini tidaklah lain adalah suatu pergabungan sistem-sistem organis, didalam mana proses-proses chemis berjalan, dan secara tetap mengalami perubahan-perubahan. Tubuh ini keadaannya seperti Servomechanisme, karena apabila sesuatu bagiannya mengalami gangguan, maka keseluruhannya merasakan akibatnya. Kemampuan dan kecenderungan badan, yang selalu akan kembali ke keseimbangannya yang normal, atau ke garis basisnya, dikenal dengan istilah Homeostasis.
Untuk memelihara agar badan dan jiwa, berkeadaan harmonis, menurut ajaran Agama Buddha, diperlukan persyaratannya, yang berupa dicapainya kesehatan di bidang physik (= Jasmaniah), Emosional (= Perasaan), dan Mental (= Fikiran), yang dapat dicapai dengan melalui pelaksanaan Meditasi.
Keseimbangan tubuh, perasaan, dan fikiran, dapat diperoleh dengan jalan mempraktekkan Ajaran Kesusilaan (= atau Kebajikan = Virtus), yaitu bagian Utama yang Pertama dari Ajaran Delapan Jalan Utama. Ajaran Kesusilaan atau Kebajikan ini, diuraikan didalam naskah suci Visuddhimagga, berupa : menghindari berbuat jahat, ber-kemauan-baik, dan tidak serakah. Adapun sifat-sifat yang mengganggu tercapainya Kebaikan, adalah : kemarahan, kejahilan, hypocrisy, kegiatan merangsang orang-orang lain untuk berlaku berang, iri-hati atau cemburu, suka mengakali atau mendustai orang lain, suka mengganggu orang lain, kesombongan, kebangaan-diri, suka bermalas-malasan, suka memenuhi godaan hawa-nafsu, membiarkan dirinya ketagihan akan kenikmatan mulut dan lidah, suka berbicara kotor dan kasar, dan tidak berusaha mengekang kegiatan indria-indria yang mengarah ke pemuas hawa-nafsu. Keadaan-keadaan atau sifat-sifat yang meng-counter-aksi, atau yang berlawanan dengan sifat-sifat negatif tersebut dimuka itu, dapat menjadi penyebab tercapainya kebajikan atau kesusilaan.
Sesuatu dari keadaan-keadaan atau sifat-sifat yang negatif tersebut dimuka, itu menghasilkan perubahan-perubahan didalam keseimbangan blochemis dari badan. Makin tidak seimbang keadaan diri, atau tubuh seseorang, menjadi makin banyak dikeluarkan substansi-substansi neuro-transmitter, sebagai misalnya Acetylcline, Scrotonin dan Epinefrin. Zat-zat tersebut menyebabkan lalu dihasilkan banyak type-type effek, yang bermacam-macam, terhadap organ-organ tubuh, sebagai misalnya pada kelenjar buntu thyroid, adrenal cortex, saluran-saluran pencernaan makanan dan pada organ-organ seksual. Misalnya, apabila seseorang berang, maka kemarahan atau agitasinya yang dialaminya itu menyebabkan dihasilkannya Epinefrin, yang selanjutnya ini mengakibatkan tekanan darahnya naik, dan output cardialnya, serta konsumsi oxygennya menjadi makin bertambah.
Keadaan lainnya yang kita alami adalah rasa takut dan kecemasan. Selama orang mengalami ketakutan dan kecemasan, lebih banyak jumlah acid yang dikeluarkan dari pada yang biasa, terhadap saluran-saluran pencernaan makanan, hal ini selanjutnya mengakibatkan membran-nya terkena serangan acid dalam jumlah yang banyak, dan sebagai hasilnya orangnya menderita penyakit ulcer, atau mengalami luka pada ususnya.
Keadaan ketegangan syaraf yang berlangsung lama, telah diketahui menjadi sebab rusaknya sistem syaraf autonomis, didalam cara yang sedemikian rupa, sehingga mempengaruhi peristalsis, secara negatif, yang menjadikan rusaknya fungsi-fungsi pencernaan makanan dan pengeluaran kotor-kotoran dari tubuh. Hal tersebut mengakibatkan penyakit sembelit (= tidak dapat buang air besar) dan peracunan terhadap dirinya sendiri, dan keadaan ini mempengaruhi kesehatan physik, emosional, dan mental, dari orang yang bersangkutan, yaitu mengalami penyimpangan fungsi dari yang sewajarnya.
Dari uraian tersebut diatas, kiranya dapat kita mengerti mengapa Sang Buddha menggaris-bawahi praktek kebajikan, atau kesusilaan, sebagai syarat penting untuk keberhasilan meditasi. Praktek meditasi tidak mungkin berhasil, apabila badan jasmani, emosi, dan fikiran, seseorang, mengalami gangguan. Seseorang yang mempraktekkan kebajikan, atau kesusilaan, akan dapat melaksanakan meditasi secara sukses, dapat menghilangkan gangguan-gangguannya, dan dapat berkontemplasi (= bermeditasi) terhadap realitas, dan akhirnya dapat mencapai Kebebasan (bebas dari mengalami penderitaan). Ketiga tujuan utama ini dapat dicapai dengan melaksanakan Ke-Empat Jhana.
Sama keadaannya bahwa didalam ilmu pengetahuan, itu pencapaian tujuan diperoleh secara setapak demi setapak dan secara methodis, demikian juga pencapaian tujuan Agama Buddha, didalam meditasi, itu dicapai secara setingkat demi setingkat dan secara hirahis, serta erat sekali kaitannya dengan keadaan dari tubuh physiknya.
Dimilikinya kemampuan dapat bermeditasi dengan sikap badan yang baik dan teguh, dapatnya diatur fikirannya secara mantap, tanpa mengalami teralihkan perhatiannya kesana-kemari, dan telah dapatnya berkonsentrasi secara mendalam, adalah persyaratan utama untuk meditasi yang baik. Sang Buddha memuji tinggi-tinggi methode yang dapat menghasilkan ketenangan, melalui pemusatan perhatian terhadap pernapasan, dengan jalan mana, Beliau sendiri telah dapat mencapai Penerangan Sempurna.
Para penyelidik modern telah menemukan fakta bahwa seseorang yang sedang bermeditasi itu mengalami menjadi lambatnya kecepatan pernapasannya; konsumsi oxygen menjadi berkurang sekitar 20 %, dan output Co2-nya mengalami penurunan pula.
Effek-effek, akibat-akibat, physiologis, yang berupa pengurangan kecepatan metabolisme, diungkapkan pula; juga dicatat berkurangnya lactic acid didalam darah, yang dalam waktu yang bersamaan nampak naiknya didalam pH dan berkurangnya response Galvanic yang berhubungan dengan kulit, sewaktu orang melakukan meditasi.
Dengan telah diatasinya hambatan-hambatan, yang menghasilkan keadaan tenangnya physik dan mentalnya, bersama-sama dengan makin berhasilnya praktek meditasi, maka Jhana yang pertama tercapai. Keadaan tak berkeinginan (keinginan tingkatan rendah) ini berhubungan dengan telah dapat dikontrolnya secara mutlak alam wujud-wujud (= plane of form). Transisi permulaan untuk mencapai kemahiran dalam berkelana di Jalan Suci ini, dikatakan merupakan tugas yang paling berat.
Setelah dapat mencapai tingkatan Jhana Yang Pertama, Sang Jhani berusaha untuk mencapai penguasaan atas alam-alam mental. Jhana Yang Ke-Dua ini berhubungan dengan kekuatan untuk berkonsentrasi, yaitu kemampuan memusatkan konsentrasinya pada kekuatan-kekuatan mental. Ini dikenal dengan istilah Ekkagatha, atau Pemusatan Fikiran pada Satu Titik.
Orang dapat membayangkan betapa hebat kekuatan yang dicapai oleh seseorang yang telah dapat bermeditasi yang berlangsung lama dan mantap, atas otaknya dan atas reaksi-reaksi biochemisnya, kalau kita ketahui bahwa menurut ilmu pengetahuan, latihan meditasi yang biasa dan berlangsung singkat saja, telah dapat mengubah objek didalam eksperimen yang telah dilakukan.
Pada WCLA Berkley di tahun 1964, laboratori yang khusus, telah dapat mengungkapkan bahwa apabila makin diperkaya lingkungan-sekitar belajarnya seseorang, maka akan makin berkembang dan makin teballah lapisan-lapisan cortex, yang yang mengakibatkan makin besarnya aktivitas total dari kedua enzym otak. Makin kayanya lingkungan sekitar belajar itu juga menghasilkan cel-cel yang lebih besar.
Adalah merupakan pengetahuan yang sifatnya umum fikiran yang terkonsetrasikan dan jiwa yang tenang itu menghasilkan gelombang-gelombang yang sifatnya tertentu. Keadaan ketenangan jiwa ini dapat diketahui sifatnya dan dapat diusahakan dipertahankan keadaannya, melalui alat-alat bio-feadback.
Aktivitas-aktivitas mental itu dikenal mempengaruhi produksi dari RNA, yang erat hubungannya dengan protein syntehsis. Keduanya, RNA dan molekul-molekul protein menyarankan kepada orang, untuk berkesimpulan bahwa itu berhubungan dengan ingatan jangka pendek dan jangka panjang. Keadaan mental selama orang melaksanakan meditasi, itu dapat mempengaruhi produksinya type khusus dari RNA dan protein-protein. Dr. Penfield didalam penyelidikannya mengenai perangsangan terhadap otak telah menunjukkan bahwa perangsangan pada otak itu dapat menyebabkan timbulnya kembali pengalaman-pengalaman di masa yang lampau, yang caranya adalah dengan mengadakan rangsangan elektris terhadap otak. Didalam cara yang sama, seorang Jhani dengan kekuatan konsentrasinya dapat merangsang aktivitas elektris didalam sesuatu bagian dari otak, yang mengakibatkan dapat menimbulkan kembali ingatan-ingatan. Karena makhluk-makhluk hidup itu telah ada sejak waktu yang permulaannya tidak diketahui, maka adalah mungkin untuk mengambil kesimpulan bahwa masalah pemanggilan kembali ingatan-ingatan kehidupan di masa-masa yang lampau itu dapat dicapai oleh seseorang yang telah mampu memiliki Tingkatan Jhana yang Ke-Dua, melalui mechanisme jasmaniah.
Jhana tingkat Ke-Tiga adalah keadaan didalam mana Sang Jhani berada didalam Ketenangan dan Keadaan Bersikap Adil. Dia memandang dengan tenang dan tidak berat sebelah, maupun tanpa kehilangan kewaspadaan dalam pengamatan terhadap benda-benda, atau hal-hal, sewaktu benda-benda, atau hal-hal, itu muncul dan lenyap. Dia ada didalam pemilikan energi yang berkeadaan seimbang. Dia tidak berkeadaan sangat tegang, maupun tidak terlalu santai, dan dia ber-eksistensi seperti sebuah molekul didalam keadaan dasar dari energi. Didalam keadaan ini, proses badan seseorang membutuhkan sejumlah energi yang sedikit saja, dan orangnya dapat merasa puas atas fungsi chemis utamanya, dari kehidupannya, yang dapat meminimkan, membuat sesedikit mungkin, entropi pada dirinya. Entropi adalah ukuran ketidak-teraturan atau kekacauan, dan fungsi-fungsi tubuhnya, yang mencakup perasaannya, dan fikirannya. Sang Jhani didalam keadaan yang demikian itu, telah bebas dari kegelisahan, kecemasan dan ke-agitasi-an, atau keadaan ingin marah atau menjadi berang.
Setelah dapat mencapai Tingkatan Jhana Yang Ke-Empat, seorang Jhani berada didalam keadaan kemurniaan badan, perasaan, dan fikiran, disertai dengan pemilikan kemampuan bersikap penuh kewaskitaan dan ketenangan serta keadilan. Dengan telah berhentinya, atau telah bebasnya orang, dari penderitaan dan kenikmatan, keduanya, baik badan jasmaninya maupun mentalnya, akhirnya dia dapat mencapai bebas dari keterikatan secara tuntas, dan berada didalam keadaan yang bebas, atau telah mencapai Kebebasan Spiritual.
Saya akan mengakhiri uraian dari artikel saya ini, dengan contoh-contoh ilmiah, yang ada hubungannya dengan masalah meditasi. Telah diketahui oleh ilmu pengetahuan bahwa transmisi neural (penyampaian getaran elektris pada syaraf) itu dipengaruhi oleh keberadaan ion-ion calcium. Getaran-getaran electromagnetis dari sekitar 7 hingga 13 cyclus per detik dihasilkan orang, selagi dia melakukan meditasi. Apabila getaran-getaran electromagnetis dari frekwensi yang tersebut diatas itu disentuhkan pada otak, akan terdapat aliran sejumlah banyak calcium, dari syaraf-syaraf cel-cel membran. Eksperimen mengenai ruang, yang dilakukan pada akhir-akhir ini, yang dilakukan oleh para astronaut didalam keadaan diperpanjangnya keadaan tanpa bobot, di angkasa luar, telah lebih memperbesar rasa atau penghayatan keagamaan, lebih banyak dari pada penghayatan pengalaman spiritual.
Makin banyaknya dibebaskannya ion-ion calcium, yang disebabkan oleh decalcifikasinya tulang-tulang, itu mengakibatkan, ion-ion calcium beredar didalam aliran darah, yang memungkinkannya hingga sampai di otak.
Adalah merupakan hal yang masuk akal, kalau kita mengambil kesimpulan bahwa keduanya, yaitu pengalaman spiritual dari sang meditator dan para astronanut didalam keadaan tanpa bobot, itu dapat dilacak kepada phenomena physiologis, yang sama, yaitu perubahan ikatan calcium didalam sistem neurologis.
Sebagai ringkasan dari yang telah saya kemukakan dimuka, saya telah menunjukkan didalam artikel ini, bahwa walaupun waktu penyampaiannya berkeadaan berbeda, namun apa yang diajarkan oleh Sang Buddha itu bersifat ilmiah. Tujuan dari keduanya, baik Agama Buddha, maupun Ilmu Pengetahuan, adalah untuk menemukan hukum-hukum alam, dan akhirnya, dengan mengikuti tehnik-tehnik yang tepat, orang dapat mencapai yang menjadi tujuannya, sesuai dengan yang telah diramalkannya.
Sang Buddha telah bersabda sebagai berikut : “Lakukanlah Ehipassako! Datang dan lihatlah dengan mata kepala anda sendiri! Dan terimalah pesan dari artikel ini : “Ber-Meditasi-lah! Ber-Eksperimen-lah! Dan hayatilah Ajaran-Ajaran dari Buddha Dhamma!”.
sumber: samaggi-phala.or.id
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar