Pancasila (Buddhis), sebagai langkah dasar latihan kemoralan (sikkhapada), khususnya bagi umat perumah tangga, sering kita ucapkan bersama dalam berbagai kesempatan , tapi kita lebih sering melupakan makna pemahaman yang terkandung didalamnya.
Pancasila (Buddhis) walau hanya terdiri dari 5aturan kemoralan , makna yang terkandung didalamnya amatlah luas.
1. Panatipata
2. Adinadana
3. Kamesu micchacara
4. Musavada
5. Surameraya majja pamadatthana
Di Pattisambbida, Khuddaka Nikaya, Sutta Pitaka; Sariputta Thera mengatakan
Berlatih sila itu mencakup latihan :
1. Kehendak sebagai sila (cetana-sila)
Kehendak untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar sila
2. Corak batiniah sebagai sila (cetasika-sila)
Pantangan untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar sila
3. Pengendalian sebagai sila (samvara-sila)
3.1 Pengendalian disiplin dalam latihan sila (patimokkha-samvara)
3.2 Pengendalian dengan kesadaran dalam latihan sila (sati-samvara)
3.3 Pengendalian dengan ilmu pengetahuan dalam latihan sila (nana-samvara)
3.4 Pengendalian dengan kesabaran dalam latihan sila (khanti-samvara)
4. Tidak melanggar sebagi sila (anapatti-sila)
Tidak melakukan perbuatan yang melanggar sila
5. Upaya (kehendak) sebagai sila (viriya-samvara)
Tidak berupaya (berkendak) melakukan perbuatan yang melanggar sila
Sang Buddha , dalam ajarannya senantiasa meletakkan “Sila” sebagi dasar utama pencapaian kebijaksanaan (sila-dana-samadi.).
Suatu perbuatan dapat dikatakan “melanggar sila” bila faktor-faktor yang mendasari perbuatan itu terpenuhi dan disebut sebagai akusala-kammapatha (jalan menuju alam menyedihkan), bila faktor-faktor yang mendasari tidak terpenuhi (lengkap) maka perbuatan itu tidak dapat disebut akusala-kammapatha, melainkan disebut akusala-kamma atau ducarita-kamma yang menghasilkan buah kamma buruk pada masa kehidupan sekarang , berupa penderitaan jasmani.
Sila pertama, “Panatipata”
Istilah “panatipata” terdiri dari 2 kosa kata yaitu : Pana dan atipata yang secara harafiah “pana” berarti mahluk atau kehidupan, “atipata” berarti lepas dengan cepat, gabungan dua kosa kata tersebut mempunyai arti perbuatan yang membuat suatu mahluk / kehidupan mati sebelum waktunya (pembunuhan)
Inti pemahaman sila ini adalah :
- Menghargai hak hidup setiap mahluk dan melatih cinta-kasih (metta) terhadap semua mahluk hidup.
Suatu perbuatan dapat dikatakan “membunuh, pembunuhan” bila 5 faktor yang mendasari perbuatan itu terpenuhi, yaitu :
- Adanya mahluk hidup (pano) – manusia atau binatang
- Menyadari bahwa mahluk itu masih hidup (panasannita)
- Berkehendak untuk membunuhnya (vadhakacittam)
- Melakukan usaha membunuhnya (upakkamo)
- Mahluk itu mati akibat pembunuhan itu (tena maranam)
Pemahaman arti “mahluk-hidup” berdasarkan ajaran Buddhis yaitu bila suatu mahluk yang mempunyai “nama-rupa”; nama berarti batin (roh dalam istilah awam), rupa berarti tubuh / phisik.
Ia , karena kehendak atau insting senantiasa berupaya untuk mempertahankan kehidupannya, dan berkembang biak.
Ada 6 macam cara/usaha pembunuhan, yaitu :
- Membunuh yang dilakukan sendiri (sahatthika)
- Memerintahkan kepada orang lain untuk membunuh (anattika)
- Membunuh mempergunakan senjata (nissaggiya)
- Membunuh dengan membuat perangkap permanent (thavara)
- Membunuh memakai ilmu perdukunan (vijjamaya)
- Membunuh mempergunakan kemampuan batin (iddhimaya)
Akibat dari perbuatan membunuh :
Pembunuhan, apapun alasannya akan memberi akibat buruk (akusala-kama) bagi pelakunya, walau kadar berat ringannya berbeda. Akibat berat (mahasavajja) bila pembunuhan dilakukan terhadap orang-tua, rohaniwan atau orang suci (orang ang berbudi luhur), guru, atau terhadap binatang yang mempunyai ukuran tubuh besar dan bermanfaat bagi kehidupan manusia; sedang akibat ringan (appasavajja) bila dilakukan terhadap binatang bertubuh kecil dan kurang manfaatnya. Kehendak yang mendasari perbuatan itu dilakukan juga akan berpengaruh terhadap kadar akibat yang disandang pelakunya.
Seorang pembunuh akan menanggung akibat perbuatannya buruknya berupa :
- Lahir kembali dalam keadaan cacat
- Berwajah dan perawakan tubuh yang jelek
- Berbadan lemah dan berpenyakitan
- Idiot, penakut dan senantiasa diselimuti perasan cemas
- Dibenci, dimusuhi orang serta tak berkawan
- Dipisahkan dengan orang yang disayangi, dicintai
- Berusia pendek atau terbunuh oleh berbagai sebab
-
Iktisar :
1. Obyek :
1.1 – Manusia
1.2 – Binatang : berguna, tidak berguna
merugikan, tidak merugikan
2. Kehendak
2.1 – Direncanakan, dikehendaki, disengaja
2.2 – Tidak direncanakan, tidak dikehendaki, tidak disengaja
Dorongan sesaat, mempertahankan diri, kecelakaan
3. Usaha
3.1 – Secara langsung
3.2 – Secara tidak langsung
Sila ke 2, “Adinnadana”:
Istilah “adinnadana” terdiri dari 3 kosa kata : “a” yang berarti tidak, “dinna” berarti barang atau benda “dana” yang diberikan oleh pemiliknya, jadi secara harafiah adinnadana berarti mengambil barang atau benda yang tidak diberikan oleh pemiliknya (pencuriaan)
Inti pemahaman dari sila ini adalah :
- Menghargai hak milik orang (mahluk) lain dan bertingkah laku jujur, dan tidak melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian materi.
Suatu perbuatan dapat dikatakan “pencurian, mencuri” apabila 5 faktor yang mendasari perbuatan itu terpenuhi :
1. Adanya barang, benda milik orang lain (parapariggahitam)
2. Mengetahui barang, benda itu ada pemiliknya (parapariggahita-sannita)
3. Berkehendak mengambilnya (theyyacittam)
4. Berusaha mengambilnya (uppakamo)
5. Berhasil mengambil melalui usaha itu (tena haranam)
Menurut ajaran Buddhis ada 25 perbuatan yang disebut mencuri (pencurian) dan dikelompokkan dalam 5 golongan berdasarkan jenis barang, benda yang dicuri dan usaha, cara pencuriaan itu dilakukan :
1. Nanabhanda-pancaka : 5 jenis perbuatan mencuri, pencurian dengan obyek benda hidup atau mati
1.1 Adiyana-adinnadana
Pencuriaan harta benda orang lain , dengan jalan menyalah gunakan kekuasaan atau tipu daya dalam bidang hukum.
1.2 Harana-adinnadana
Pencuriaan terhadap harta benda orang lain yang sedang menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga
1.3 Avaharana-adinnadana
Pencuriaan yang dilakukan dengan mengingkari hak kepemilikannya atas barang yang dipercayakan (dititipkan) oleh pemiliknya .
1.4 Iriyapatha-adinnadana
Pencuriaan dengan kekerasan , ancaman
1.5 Thanavacana-adinnadana
Pencuriaan dengan jalan mencari kelengahan pemiliknya
2. Ekabhanda-pancaka : 5 jenis perbuatan mencuri, pencurian dengan obyek benda (mahluk) hidup.
Penjelasan pengertian sebagai ekabhanda-pancaka pada dasarnya sama dengan nanabhanda-pancaka, perbedaan dasar hanya pada obyek pencuriaan.
Obyek pencuriaan didalam pengertian ekabhanda-pancaka adalah mahluk hidup (manusia, binatang)
Yang tergolong ekabhanda-pancaka sama dengan nanabhanda-pancaka :
Adiyana-adinnadana; Harana-adinnadana; Avahara-adinnadana; Iriyapatha-adinnadana;
Thanavacana-adinnadana.
3. Sahattika-pancaka : 5 jenis perbuatan mencuri, pencurian yang dilakukan sendiri
3.1 Sahattika-adinnadana
Pencurian barang hidup atau mati yang dilakukan oleh diri sendiri
3.2 Anattika-adinnadana
Pencuriaan barang hidup atau mati dengan memerintahkan kepada orang lain untuk melakukannya dalam waktu tertentu (waktu yang terbatas).
3.3 Nissaggiya-adinnadana
Pencuriaan yang dilakukan identik dengan perbuatan penyeludupan atau pengelapan.
3.4 Atthasadhaka-adinnadana
Pencuriaan dengan memeritahkakan kepada orang lain tanpa batas waktu, tergantung kesempatan (waktu) yang ada.
3.5 Dhuranikkhepa-adinnadana
Pencuriaan yang dilakukan ketika proses hukum sedang berlangsung atau tindakan memungkiri atas barang yang dititipkan oleh pemiliknya dengan tujuan memilikinya.
4. Pubbapayoga –pancaka : 5 jenis perbuatan yang sudah dapat dikategorikan melakukan pencurian (mencuri) walau perbuatan itu belum dilakukan.
4.1 Pubbapayoga-adinnadana : perbuatan pencuriaan yang terjadi pada waktu sedang memerintahkan orang lain untuk melakukan.
4.2 Sahapayoga-adinnadana : perbuatan pencuriaan telah terjadi ketika usaha / niat melakukannya masih dalam perencanaan.
4.3 Savidavahara-adinnadana : perbuatan pencurian yang dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan beberapa orang, walau pada saat perbuatan itu dilakukan tidak terlibat langsung.
4.4 Sanketakamma-adinadana : perbuatan pencuriaan yang dilakukan tepat pada saat diperintahkan.
4.5 Nimittakamma-adinnadana : perbuatan pencurian dilakukan oleh orang yang diperintahkan setelah menerima tanda, kode, isyarat dari yang memerintahkan.
5. Theyyavahara-pancaka : 5 jenis perbuatan mencuri, pencurian dengan cara pemalsuan, pengelapan, penipuan atau cara-cara sejenis.
5.1 Theyyavahara-adinadana : perbuatan pencuriaan yang dilakukan dengan cara melakukan kecurangan atas alat ukur, takaran, timbangan, kwalitas barang atau melakukan pembayaran dengan uang palsu.
5.2 Pasayahara-adinnadana : perbuatan pencuriaan disertai ancaman dan melukai korban, menyalah gunakan kekuasaan (hukum atau mempengaruhi penguasa untuk merampas hak milik seseorang.
5.3 Parikappavahara-adinadana : perbuatan mencuri yang dilakuan dengan menentukan batasan jenis obyek pencuriaan dan waktu pencuriaan.
5.4 Paticchannvahara-adinadana : perbuatan pencuriaan yang dilakukan dengan mengambil barang yang telah lalai diletakkan oleh pemiliknya.
5.5 Kusavahara-adinnadana : perbuatan pencuriaan yang dilakukan dengan cara mengubah hak kepemilikan atau mengambil warisan yang tidak sah.
Akibat dari perbuatan mencuri :
- Dilahirkan kembali dalam kemiskinan
- Tidak mempunyai banyak harta benda dalam penghidupan sekarang
- Menderita kelaparan
- Tidak berhasil memperoleh apa yang diinginkan
- Menderita kerugian atau kebangkrutan dalam usahanya
- Sering ditipu, atau harta bendanya ludes karena bencana
Sila ke 3, “Kamesumicchacara”
Istilah “kamesumicchacara “ terdiri dari 3 kosa kata : “kamesu” yang berarti persetubuhan, “miccha” yang berarti menyimpang (cabul) dan “cara” yang berarti prilaku.
Secara harafiah berarti prilaku (perbuatan) seks yang menyimpang atau cabul
Inti pemahaman dari sila ini adalah :
- Menghargai ikatan suci perkawinan, pengendalian nafsu indriya
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai prilaku seks yang menyimpang atau cabul apabila faktor yang mendasari terpenuhi :
1. Adanya obyek (orang) yang tak patut (tak memenuhi syarat) untuk disetubuhi (agamaniya-vatthu)
2. Mempunyai kehendak (niat) menyetubuhi ( tasmim-sevacittam)
3. Usaha, upaya untuk menyetubuhi (sevanappayogo)
4. Berhasil menyetubuhi ( maggena maggapatipatti adhivasanam)
Ada 3 macam orang yang tak pantas disetubuhi :
1. Telah menikah
2. Masih dalam pengawasan suatu pihak
3. Dilarang karena adat atau agama
3.1 masih dalam garis keturunan keluarga
3.2 rohaniawan yang berdasarkan peraturan agama dilarang menikah
3.3 mereka yang dilarang karena hukum negara
Berdasarkan pengertian agamaniya-vatthu, ada 20 wanita yang tak pantas disetubuhi, yaitu :
1. Wanita dalam perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Wanita dalam perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Wanita dalam perlindungan ayah dan ibunya (matapiturakkhita)
4. Wanita dalam perlindungan kakak atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Wanita dalam perlindungan kakak atau adik lakinya (bhaturakkhita)
6. Wanita dalam perlidungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Wanita dalam perlidungan marganya /sukunya (gotarakkhita)
8. Wanita dalam perlidungan orang orang yang berpraktek Dhamma (dhammarakkhita)
9. Wanita pesanan raja atau penguasa (saridanda)
10. Wanita yang telah dipertunangkan (sarakkha)
11. Wanita yang telah dibeli oleh seorang laki-laki atau digadaikan (danakkita)
12. Wanita yang tinggal serumah dengan orang yang dicintai (chandavasini)
13. Wanita yang rela dinikahi seorang laki-laki karena mengharapkan memiliki kekayaannya
(bhogavasini)
14. Wanita yang rela dinikahi seorang laki-laki karena mengharapkan barang sandang (patavasini)
15. Wanita yang telah dinikahi secara resmi oleh seorang laki-laki berdasarkan hukum adat (odapattagini)
16. Wanita yang dinikahi secara resmi oleh seorang laki-laki yang telah menolong membebaskannya dari perbudakan (obhatasumbatta)
17. Wanita tawanan yang kemudian secara resmi dinikahi (dhajahata)
18. Wanita pekerja yang secara resmi dinikahi oleh majikannya (kammakaribhariya)
19. Budak wanita yang dinikahi secara resmi oleh majikannya (dasibhariya)
20. Wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika)
Seorang pria yang telah terikat tali perkawinan mengauli satu atau lebih dari 20 jenis perempuan kategori ini, dapat dikatakan telah melakukan perzinahan (pelanggaran sila).
Kategori wanita no 1 hingga 8, belum mempunyai suami, mereka masih mempunyai hak mutlak atas tubuh ,batin, serta kehidupannya, sehingga bila mereka dengan sadar, rela dan saling suka menyerahkan dirinya kepada seorang laki-laki (yang tidak terikat hukum perkawinan) dan hidup bersama (kumpul kebo) tidaklah dapat dikatakan melakukan perzinahan. Sedangkan wanita kategori 9 – 20 karena mereka telah terikat tali perkawinan, bila mereka menyerahkan tubuhnya kepada seorang laki-laki yang bukan suaminya maka dikatakan telah melakukan perzinahan.,
Persetubuhan antar dua orang lesbian atau homoseksual tidak dapat dikatakan melanggar sila, bila kedua pelakunya tidak terikat tali perkawinan dengan seorang wanita.
Seorang wanita yang disebut sebagai pelacur, berarti ia telah melepaskan diri dari lindungan, perawatan orang tuanya atau pihak-pihak lain, dan secara sadar telah memilih profesinya sebagai pemuas nafsu seks laki-laki, maka apabila seorang bujangan yang mengauli wanita semacam ini, dan telah memberi bayaran yang pantas sesuai yang diminta, mendapat persetujuan dari pengasuhnya (induk semang) tidak dapat dikatakan melakukan perzinahan. Hanya saja perbuatannya itu melanggar norma etika masyarakat dan tak pantas dilakukan, demikian pula sepasang suami-istri , ketika mencari kepuasan seksual dengan cara sodomi atau oral tidak dapat dikatakan melanggar sila, hanya sekali lagi ! Tidak pantas dilakukan dan akan menimbulkan akibat buruk ( mis.: penyakit), dan perlu diingat pemuasan nafsu seks secara berlebih-lebihan dan dengan cara yang kurang pantas berdasarkan etika moral akan menyeret seseorang dalam alam kehidupan yang rendah dan menjauhkan dari kebajikan.
Dalam hal ini, agama Buddha tidak dapat dikatakan lebih rendah nilai moralitasnya dibanding agama-agama yang lain karena seakan-akan menghalalkan prilaku yang melanggar norma etika seks yang berlaku dalam masyarakat umum tetapi ajaran Buddha senantiasa bertindak obyektif, tidak memvonis suatu hal yang buruk secara berlebih-lebihan, melainkan meletakkan suatu persoalan pada proporsi sebenarnya. Karena Sang Buddha telah mengajarkan, salah satu sebab kehancuran nama baik, reputasi, harga diri adalah mengunjungi pelacur.
Perzinahan dapat mengakibatkan :
- Mempunyai banyak musuh, dibenci
- Terlahir kembali sebagai waria
- Mempunyai kelainan jiwa, senantiasa gelisah
- Gagal bercinta atau sukar mendapat jodoh, dipisahkan dari orang yang dicintai
- Tidak mendapat kebahagiaan berberumah tangga
Sila ke 4, “Musavada” :
Istilah “musavada” terdiri dari 2 kosa kata, yaitu “musa” yang berarti bukan suatu kebenaran dan “vada” yang berarti ucapan
Jadi secara harafiah kata musavada berarti mengucapkan sesuatu yang bukan merupakan kebenaran atau berbohong.
Ucapan dikatakan suatu pendustaan (berbohong) bila 4 faktor yang mendasari terpenuhi:
1. Sesuatu atau hal yang tidak benar (atthama-vatthu)
2. Mempunyai kehendak, pikiran untuk berdusta (visamvadanacittam)
3. Berusaha berdusta (tajjo-vayamo)
4. Orang lain mempercayai kata katanya (parassa-tadatthavijananam)
Ucapan dusta yang menimbulkan kerugian bagi orang lain dapat dikategorikan sebagai akusala-kammapatha, sedang bila tidak ada kerugian yang ditimbulkan dikategotrikan sebagai akusala-kamma.
Sang Buddha, didalam Navanipata, Jataka, telah mengajarkan :
“Diantara akusala-kammapatha, yaitu pembunuhan, pencurian, perzinahan, pemabuk-mabukan mungkin dilakukan oleh seorang bodisatta, namum pendustaan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain sama sekali tidak mungkin dilakukan oleh seorang bodhisatta”.
Termasuk dalam kategori pendustaan adalah :
1. Ucapan yang dapat menimbulkan cekcok, pertikaian, pertengkaran, perpecahan diantara pihak-pihak yang dahulunya terjalin dalam kerukunan, kesatuan (pisunavaca)
2. Ucapan yang dapat menimbulkan kemarahan, kebenciaan seseorang (pharusavaca)
3. Ucapan yang dapat melenyapkan manfaat dan kebahagiaan (samphappala)
4. Ucapan yang mencerminkan kehendak jahat untuk memiliki barang orang lain secara tidak sah (abhijjha)
5. Ucapan yang mencerminkan itikad jahat (vyapada)
6. Ucapan yang mencerminkan pandangan sesat, pengertian salah (micchaditthi)
1.1 Pisunavaca
Faktor yang melandasi ucapan yang dapat menimbulkan pertikaian, pertengkaran, perpecahan :
- Ada pihak-pihak yang akan dihasut (bhinditabbo)
- Bermaksud memecah belah (bhedapurekkharata)
- Bermaksud agar dirinya dicintai pihak-pihak tertentu (piyakamyata)
- Berusaha untuk menghasut (tajjo-vayamo)
- Ada pihak yang percaya atas hasutan itu (tassa-tadatthavijananam)
1.2 Pharusavaca
Faktor yang mendasari ucapan yang dapat menimbulkan kebenciaan, kemarahan pihak lain :
- Ada orang yang akan dimaki (akkositabbo-paro)
- Mempunyai pikiran yang penuh kemarahan (kupitacittam)
- Mengucapkan kata kata makian (akosana)
1.3 Samphappala
Faktor yang mendasari ucapan yang tak bermanfaat atau menghilangkan kebahagiaan:
- Bermaksud mengucapkan kata-kata yang tidak bermanfaat
(niratthaka-kathapurekkharata)
- Mengucapkan sesuatu yang tak bermanfaat (tatharupi-kathakathanam)
1.4 Abhijjha
Faktor yang mendasari ucapan yang mencerminkan kehendak untuk memiliki barang orang lain secara tidak sah (menipu):
- Ada benda atau barang milik orang lain (parabhandam)
- Bermaksud memiliki barang tersebut secara tidak sah (attano-parinamanam)
Hendaknya kita senantiasa mendasari ucapan kita dengan hasrat yang wajar dan menghindari keserakahan
1.5 Vyapada
Faktor yang mendasari ucapan yang mencerminkan itikad jahat (vyapada) yang dilandasi kemarahan (kodha):
- Ada orang yang menjadi obyek keinginan beritikad jahat (parasatto)
- Bermaksud mencelakakannya (tassa-vinasacinta)
1.6 Micchaditthi
Ucapan ini lebih ditujukan berupa penyangkalan kebenaran suatu ajaran (agama), dan mennafsirkan pemahamannya berdasarkan pandangan pribadi yang sangat subyektif.
Faktor yang mendasari ucapan pandangan sesat ini:
- Memahamani ajaran agama secara salah, menyimpang dari hakikat kebenaran ajararan
agama tersebut (attahaviparitta)
- Memahami, mempercayainya sebagi suatu kebenaran (kasuyatan) ajaran agama yang
salah (tathabavupatthanam)
Pandangan sesat merupakan akusala-kammapatha ialah niyata-micchadithi , yang terdiri dari :
- Pandangan yang menolak atau menyangkal akibat dari semua bentuk perbuatan
(natthika-dithi)
- Pandangan yang menolak atau menyangkal adanya sebab yang melatar belakangi semua perbuatan (kejadiaan) dialam semesta ini (ahetuka-dithi)
- Pandangan yang mengatakan bahwa semua bentuk perbuatan adalah tindakan semata-mata, bukan suatu kebajikan atau kejahatan (akiriya-dithi)
Akibat dari perbuatan musavada :
- Mulut berbau busuk, berbicara tidak jelas
- Perkataannya tidak dipercayai
- Menjadi celaan para bijaksana
- Sering bertikai, hidup jauh dari kerukunan
- Mudah sakit hati atu tersingung oleh ucapan orang lain
- Terjauhkan dari kebenaran, tidak mempunyai kebijaksanaan luhur
Sila ke 5, “Surameraya-majjapamadatthana” :
Istilah “surameraya-majjapamadatthana” terdiri dari 4 kosa kata “ sura” artinya suatu sebab yang mendorong perbuatan nekad, “meraya” artinya sesuai sebab yang menyebabkan mabuk, “majja” artinya sesuatu sebab yang dapat tak sadrkan diri, “pamadatthana” artinya sesuatu sebab kelengahan atau kecerobohan.
Arti harafiah surameraya-majjapamadatthana adalah mengkomsumsi sesuatu minuman / barang yang dapat menyebabkan mabuk / tak sadarkan diri , penyebab kelengahan/ keteledoran.
Perbuatan ini, memang tidak tercantumkan secara langsung dalam sepuluh jenis akusala-kammapatha, tetapi efek samping yang mungkin timbul (mis: pencuriaan, pembunuhan) akan menimbulkan buah perbuatan buruk yang dapat dikategorikan dalam akusala-kammapatha.
Beberapa pengulas, menguraikan makna dari kata “sura” sebagai minuman / makanan yang mengandung alkohol berasal dari peragian :
- Peragiaan dari beras ketan (pitthasura)
- Peragian dari kue (pupasura)
- Peragian dari nasi (odanasura)
- Peragian yang dibuat dari tepung ragi (kinnapakkhittasura)
- Peragian dari buah-buahan (sambharasamyuttasura)
Sedang kaya “meraya” diuraikan sebagai minuman/makanan yang memabokan,:
- Minuman memabukkan berasa ldari beberapa macam bunga/tumbuh-tumbuhan (pubbhasava)
- Minuman memabukkan yang dibuat dari buah-buahan (phalasava)
- Minuman memabukkan yang dibuat dari anggur (madhavasava)\
- Minuman memabukkan yang dibuat dari air tebu (gulasava)
- Minumamn yang memabukkan yang dibuat dari buah malaka dan kanna (sambharasamyutasava)
Sedangkan “majja” diuraikan sebagi minuman/makanan atau suatu zat yang dapat menyebabkan menurunnya kesadaran:
- Ganja
- Heroin
- Morfin
Sesuai era perkembangan jaman, beberapa zat aditif yang pada awalnya dipergunakan demi kepentingan kedokteran sebagi obat penenang, telah disalah gunakan dan dikenal sebagi narkotika; dan mengakibatkan menurunnya kesadaran seseorang.
Faktor-faktor yang mendasari perbuatan yang dapat menyebabkan menurunnya kesadaran :
- Adanya makanan, minuman yang dikategorikan sura, meraya, majja
- Mempunyai keinginan untuk mengkomsumsi (pivitukamata)
- Mengkomsumsi (pivanam)
- Timbul akibatnya (mabok, menurunnya kesadaran) (maddanam)
Sang Buddha, di Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, mengajarkan betapa besar akibat buruk dari perbuatan pemabokan,:”Duhai, para bhikkhu, peminum minuman keras (berakohol) secara berlebihan dan terus menerus nistaya akan menyeret seseorang kealam neraka, alam binatang, alam iblis; Akibat yang paling ringan yang ditanggung oleh mereka-yang karena kebajikannya, ia akan terlahir sebagai manusia yang gila/sinting”.
Dan juga diajarkan oleh Beliau,: “ Ada tiga macam hal, duhai para bhikkhu, yang apabila dilakukan tidak pernah membuat kenyang. Apakah tiga hal itu ?. Tiga hal itu adalah : bertiduran, bermabuk-mabukan dan persetubuhan”.
Bhuddhagosa Thera mengulaskan,: “Sesungguhnya, diantara lima sila dalam Pancasila, meminum minuman yang memabokkan – yang menjadi sebab kelengahan atau kecerobohan, nistaya menimbulkan akibat buruk yang lebih besar; Pelanggaran empat sila lainnya, pembunuhan dan sebagainya tidak menimbulkan akibat buruk sebesar peminum minum-minuman memabukkan, yang dapat membuat orang menjadi gila, yang sangat berbahaya bagi pencapaian “Jalan” dan “Pahala”.
Akibat pemabukan :
- Terlahir kembali sebagi orang yang terganggu ingatannya
- Tingkat kesadarannya rendah
- Tidak mempunyai kecerdasan, pengetahuan
- Ceroboh, pikun, malas, tidak dipercaya oleh masyarakat
- Sulit mencari mata pencaharian
Penutup:
- Pancasila diajarkan oleh Sang Buddha bukan untuk mengekang kebebasan , melainkan kehendak untuk mencapai kehidupan yang damai berdasarkan pengendalian nafsu indriya, sehingga mendukung kebahagian keluarga dan masyarkat.
- Berlatih sila tidak harus dilakukan secara ekstrem ataupun karena paksaan, kesadaran dan tekad berlatih itulah dasar utama.
- Sungguh sulit melatih sila secara lengkap dan berkesinambungan dalam kehidupan sehari-hari, berlatih secara bertahap akan lebih baik dari pada memaksakan diri berlatih diluar kemampuan.
- Bukan berapa banyak jumlah sila yang berhasil dilatih, tetapi kualitas latihan yang lebih bermanfaat
- Jangan menghakimi atau menghukum diri sendiri ketika anda melanggar sila yang sedang dilatih, kesadaran dan kemauan untuk memperbaiki kesalahan adalah jalan terbaik.
Daftar pustaka:
- Sangha Theravada Indonesia, Paritta Suci
- Sangha Theravada Indonesia, Pancasila dan Pancadhamma
- Jan Sanjivaputta, Mangala Berkah Utama jilid 1, Lembaga Pelestari Dhamma 1991
- Samwara, menjadi Pelita hati, 2006
http://www.wihara.com/forum/theravada/5751-pancasila-buddhis-latihan-dasar-kemoralan.html
No comments:
Post a Comment
Silahkan berkomentar dengan bahasa yang baik dan benar